Ternyata
Mangga Tak Semulus Kulit Luarnya.
Oleh
: Raisya Andhira
Kini semuanya telah musnah. Sirna
sudah harapan keluarga kepada anak sulungnya itu. Ibu Upik terperangah
mendengar pengakuan anak adiknya itu. Berharap itu hanya sebuah lelucon. Namun
setengah jam berlalu, tak ada ralat terhadap pernyataan itu. Ibu Upik pun lemas
tak berdaya.
Semenjak hari itu, Ibu Upik menjadi
tidak banyak bicara. Ibu Upik adalah kakak dari Orangtua, sebut saja Mawar, 20
tahun. Mawar tinggal bersama Ibu Upik karena Ibu kandung Mawar, Almh. Sulastri
telah meninggal tiga tahun lalu. Mawar adalah sulung dari tiga bersaudara. Ibu
Upik tinggal bersama anak-anaknya dan Mawar serta adiknya di sudut Kota Padang.
Ibu Upik bekerja seorang diri sebagai buruh cuci sedangkan suami Bu Upik telah
lama meninggal. Ayah Mawar beristri lagi setelah kematian Sulastri. Ibu Upik
giat bekerja untuk menyekolahkan ketiga anaknya dan ketiga anak adiknya. Ibu
Upik tidak pernah membedakan mereka. Ibu Upik ingin melihat anak-anaknya
sukses. Anak-anaknya sering membantu Ibu Upik menyertika pakaian pelanggan.
Begitupun dengan si sulung, Mawar. Mawar tidak pernah gengsi mengantarkan
pakaian-pakaian pelanggan yang telah selesai dicuci. Mawar adalah anak yang
rajin dan pintar, sejak SD hingga SMA ia selalu mendapatkan juara satu. Selepas
lulus Mawar melanjutkan ke perguruan tinggi. Ini memang amanah dari Sulastri.
Ia meninggalkan tabungan untuk membiayai kuliah Mawar. Meskipun isi tabungan
tersebut tidak begitu banyak, kira-kira hanya cukup untuk membiayai dua
semester kuliah Mawar, namun Ibu Upik tidak putus asa, ia bertekad menguliahkan
Mawar hingga Sarjana melihat kegigihan Mawar selama ini dalam belajar.
Mawar di terima di Universitas
Negeri Padang. di tahun pertama sungguh sangat sulit, uang yang ditinggalkan
Sulastri hanya cukup untuk biaya kuliah saja. Tidak dengan biaya tetekbengek
lainnya. Mawarpun mencari pekerjaan dan semakin giat berusaha untuk mendapatkan
beasiswa. Pak Rusli ayah Mawar seringkali menyelipkan kebanggaanya di
sela-sela obrolan dengan tetangga, ibu Upik kadang merasa risih oleh sikap ayah
Mawar yang terlalu berlebihan.
Namun angin memang lebih kencang berhembus di tempat yang lebih tinggi. Mungkin
Tuhan sedang menguji atau mungkin Tuhan marah. Si sulung yang selama ini
menjadi kebanggaan bahkan menjadi panutan adik-adiknya. Kini sudah seminggu ada
di rumah, ia telah mengambil cuti dari kuliahnya, ia mengurung diri di kamar
menanti jawaban ibu Upik dengan gelisah karena sekarang perutnya mulai terlihat
membesar.
Siapa sangka gadis lugu yang pintar, yang secara sepintas terlihat seperti
santri, kerudung panjang dan jilbab yang selalu menutupi auratnya. Tutur kata
yang lemah lembut dan ambisi yang menyala seakan padam entah kenapa. “Apa yang
sebenarnya kau cari? Apa yang kau tuju? Kenapa bisa? Kenapa begini? Terjebak
nista! mau bagaimana sekarang?”, wajah ibu Upik mengguratkan kebingungan dan
kekecewaan yang dalam, tatapannya kosong.
Kehidupan teman-teman Mawar di
kampus telah membawa Mawar ke pergaulan bebas. Awalnya Mawar hanya sekedar
menjalin kasih dengan pengemudi angkot tampan di daerah tempat tinggalnya yang
seumuran dengannya. Namun ternyata, Mawar lalai, dan terjadilah hal yang tidak
diinginkan. Kini nasi telah menjadi bubur, tak ada alat yang bisa menghapus
nama keluarga yang telah tercoreng, tak ada jalan yang bisa di tempuh dengan
jalan suci. Janin yang kini berkembang tumbuh diperutnya adalah anak tak
berdosa. Awalnya Mawar ingin menggugurkan kandungannya karena tak kuasa
menanggung malu. Namun akhirnya ia membatalkan niat keji itu karena tak mau
membuat dosa yang lain.
Ibu
Upik masih saja bungkam perihal pengakuan anak sulungnya itu. Hatinya hancur
berkeping-keping. Peluh yang telah ia korbankan untuk anaknya hanya berakhir
sia-sia, hanya berbuah cacian dan cibiran tetangga. Tak ada lagi kebanggaan,
tak ada lagi harapan, kekecewaan terlalu dalam melukai hati hingga tak ada lagi
semangat untuk membiayai anak-anaknya sekolah.
Mawar
yang semakin gundah karena tak ada respon lebih lanjut dari ibu Upik. Akhirnya
Mawar memberanikan diri berbicara dengan ayahnya di temani pacarnya, kemarahan
pun tak dapat terelakan lagi. Dengan percekcokan sengit dan sedikit kekerasan
akhirnya pernikahanpun akan di gelar.
Tak
ada percakapan lagi ibu Upik memilih meninggalkan rumah ketika ijab qobul di
gelar. Tak ada sedikit pun perasaan ingin menemani dan turut dalam acara. “Dia
bukan anakku” itulah ucapan yang ia lontarkan ketika beberapa tetangga
menanyainya.
0 komentar:
Posting Komentar
mohon kritik dan saran
tapi jangan kejam kejam amat yak.huhu