Kamis, 22 November 2012

konflik sambas


KONFLIK SAMBAS
Tulisan ini mencoba menganalisis sebuah konflik yang terjadi antar kelompok masyarakat yang hidup di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, yaitu konflik antara suku asli Kalimantan (etnis Melayu) dengan etnis pendatang yaitu etnis Madura, yang pada bulan Februari tahun 1999 sempat meletus dan menewaskan sedikitnya 200 orang dan membuat 30.000-an warga mengungsi. Etnis Madura yang dikenal sebagai kelompok yang eksklusif yang berusaha melanggengkan tradisi daerah asalnya yang keras dan kejam membuatnya sulit beradaptasi dengan lingkungannya dan membuat suku ini dicap buruk oleh sekitarnya. Konflik ini terjadi sebagai akumulasi dari stereotype dan rasa sakit hati etnis Melayu yang sudah terpendam sejak lama dan akhirnya meletus setelah dipicu oleh pembunuhan salah satu warga Melayu oleh salah satu warga Madura. Konflik semakin meluas tatkala peran negara dalam upaya resolusi konflik jangka pendek maupun jangka panjang mengalami kegagalan.
A. Penyebab dan Pemicu Konflik Antar Etnis di Sambas, Kalimantan Barat.
- Stereotype dan Rasa Sakit Hati Antar Etnis sebagai Penyebab Utama Konflik
Konflik antar etnik sudah tidak bisa dilepaskan dalam realitas sosial masyarakat di Kalimantan Barat. Di provinsi yang juga dikenal sebagai “bumi khatulistiwa” ini, masyarakat dari berbagai suku, agama dan etnis hidup bersama. Di dalam bingkai etnisitas sendiri, Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Sambas memiliki keanekaragaman etnis yang cukup berwarna, ada etnis Dayak dan Melayu sebagai “penduduk asli” pulau Kalimantan, namun tak sedikit pula etnis lain yang menjadi “kaum pendatang” di bumi Sambas, antara lain etnis Jawa, Sunda, Tionghoa, Bugis dan Madura. Namun pada dasarnya, hubungan antara berbagai etnis yang hidup berdampingan di Sambas gagal dalam menghasilkan proses adaptasi etnisitas yang sehat. Berkurangnya daya dukung terhadap akses lingkungan dan upaya marginalisasi penduduk asli setempat malah memunculkan prasangka antar-etnik, khususnya ditujukan kepada etnik Madura.
Perlu diketahui bahwa Suku Melayu adalah suku yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan suku bangsa lainnya di Kalimantan Barat,(terutama pada saat kerajaan-kerajaan besar masih berpengaruh). Lain halnyadengan etnik Madura sebagai suku pendatang. Mereka malahan berusaha melanggengkan budaya aslinya dengan hidup berkelompok dan memiliki konsep tempat tinggal yang disebut tanean lajang. Mereka juga tidak melepaskankebiasaan seperti membawa clurit, serta aktivitas yang sangat mementingkan harga diri dan martabat suku mereka yang lebih dikenal dengan sebutan carok.Mereka juga masih membawa pola pikir keras kepala, mau menang sendiri, sombong, menyelesaikan setiap permasalahan dengan kekerasan, sangat bangga pada tradisi dan budaya sendiri, lebih senang hidup berkelompok dan membentuk komunitas ketetanggan berdasar kesukuan dan orang-orangnya cenderung suka memaksakan kehendak (Sihbudi, 2001). Karena sikap eksklusif yang mereka pegang dalam bertetangga, etnik Madura gagal beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Sikap-sikap yang dibawa oleh etnis Madura tersebut diterapkan dalam kehidupan bermasyarakatnya sehari-hari tanpa melihat akan keberadaan entitas lain dalam lingkungan tersebut. Hal itu berakibat pada munculnya rasa teror dalam masyarakat jikalau ada komunitas Madura disekitar mereka, terlebih bagi etnis Melayu yang sejatinya merupakan etnis yang “berkuasa” dan mengakar di Sambas. Kebencian dan dendam mulai muncul tatkala etnis Madura mulai “sok berkuasa” dan berusaha menduduki akses-akses vital dengan bertindak selayaknya preman di Sambas, seperti di Terminal Batulayang, tanah perkebunan dan ladang. Orang Madura dalam berinteraksi dengan warga masyarakat lainnya cenderung menggunakan norma-norma yang berlaku bagi kelompoknya sendiri tanpa mengindahkan norma—norma yang telah menjadi tatanan sosial masyarakat Sambas pada umumnya (Jatiman, 1999). Rasa saling tidak percaya dan menganggap eksistensi suatu suku yang hidup di lingkungannya menjadi penghalang bagi eksistensi suku yang lain menjadikan konflik ini tumbuh dalam hati sanubari setiap individu di masyarakat. Penguasaan akses dan sebutanMelayu pengecut membuat dendam tersendiri bagi masyarakat Melayu, eksistensi dan kehormatannya sebagai suku mayoritas seakan direnggut oleh Madura.
- Pembunuhan Warga Melayu oleh Warga Madura Sebagai Pemicu Konflik
Kerusuhan Sambas pada mulanya dipicu oleh ulah premanisme seorang pemuda Madura bernama Hasan yang berasal dari Desa Sari Makmur. Ia tertangkap basah melakukan pencurian di Desa Parit Setia yang notabene adalah desa dengan mayoritas dihuni oleh etnis Melayu pada tanggal 17 Januari 1999. Hasan pun dikeroyok oleh warga hingga kemudian diamankan di Polsek Jawai, Sambas. Beberapa orang dari etnis Madura-pun meminta agar Hasan dibebaskan. Kepulangan Hasan ternyata tidak begitu saja diterima oleh keluarga setelah melihat luka-luka bekas keroyokan warga. Hingga pada tanggal 19 Januari 1999, sekitar 200 warga Madura dari Sari Makmur menyerang desa Melayu di Parit Setia yang mengakibatkan tiga warga Melayu meninggal dunia (Sihbudi, 2001).
Amarah warga Melayu semakin meluas tatkala terjadi peristiwa penusukan kernet angkot Melayu oleh penumpang Madura. Hingga pada akhirnya kerusuhan semakin meluas, hingga mencakup beberapa kecamatan di kabupaten Sambas, seperti Kecamatan Liku, Sekura, Sejangkung, Sambas, Setebang, hingga Singkawang. Amuk massa pun tak terhindarkan dan semakin meluas hingga Maret 2000. Menurut data dan laporan khusus Kepolisian Resor Sambas, kerusuhan tersebut mengakibatkan 177 orang tewas, 71 luka berat, 40 luka ringan, 12.185 rumah terbakar, 315 dirusak, dan 21.626 warga Madura terusir dari tempat tinggalnya (Cahyono, 2008).
B. Aktor Utama dalam Konflik Sambas
Setidaknya ada dua aktor utama yang terlibat dalam konflik antar kelompok dalam masyarakat tersebut, yaitu masyarakat etnis Melayu, dan masyarakat etnis Madura. Adapun dasar serta keterlibatannya dalam konflik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat Etnis Melayu
Masyarakat etnis Melayu adalah masyarakat asli yang mendiami wilayah Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Sambas. Keberadannya yang merupakan suku asli Kalimantan membuat suku ini disegani dan memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan suku lain di Sambas. Di Kalimantan Barat sendiri prosentase jumlah suku bangsa Melayu sebesar 13%. Pada dasarnya, masyarakat etnis Melayu memiliki sifat lembut dan mudah mengalah, namun ketika berhadapan dengan suku Madura yang memiliki tempramen yang begitu keras serta dendam tersendiri yang terakumulasi secara maksimal, maka lama–kelamaan bisa memunculkan sentiment tersendiri yang bertolakbelakang dengan sifat asli masyarakat etnis Melayu.
Berawal dari perbedaan karakter dan penguasaan lahan pertanian serta sarana-sarana vital oleh warga etnis Madura yang merupakan kaum pendatang, akumulasi rasa kebencian dan stereotip negatif mulai bermunculan. Lahan-lahan pertanian dan perkebunan direbut secara “paksa” dan dengan cara-cara aneh oleh kaum Madura yang terkenal ulet dan gigih. Agresivitas kaum Madura dalam persaingan ekonomi yang sering menggunakan cara-cara yang tidak jujur, menggunakan tekanan, bahkan kekerasan semakin menambah kebencian Melayu kepada Madura. Hinaan seperti “Melayu Kerupuk” sering dilontarkan oleh orang Madura terhadap Melayu terkait jati dirinya yang cenderung tertutup dan penakut. Hal itu semakin meningkatkan kebencian suku Melayu terhadap Madura yang berlanjut tatkala terjadi konflik massif di tahun 1999-2000 tersebut.
2. Masyarakat Etnis Madura
Masyarakat etnis Madura adalah kaum pendatang yang mulai bermigrasi ke Kalimantan pada abad ke-13 sampai menjelang abad ke-20. Di Kalimantan Barat sendiri, mereka mencoba melanggengkan adat istiadat dan kebiasaan yang ada di tanah leluhurnya di Madura sana, seperti hidup secara berkelompok dan memiliki konsep hidup yang disebut sebagai tanean lajang, dimana keluarga satu keturunan ditinggali oleh satu kerabat yang masih terikat hubungan kekeluargaan yang sama (Sihbudi, 2001). Sikap eksklusif yang dimiliki oleh suku Madura ini menyebabkan mereka tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kebiasaan mereka yang hobi membawa clurit juga masih dilestarikan guna menunjukkan akan suatu kejantanan. Budaya kekerasan berupa carok juga masih ia bawa yang mewajibkan secara moral bagi orang Madura untuk membalas dendam atas tindakan yang mengancam harga dirinya atau yang menyakiti hati kerabat mereka (Alqadrie, 2002). Sifat keras juga dimiliki warga suku Madura, hal ini dikarenakan kondisi geologis dimana mereka berasal, yang cenderung didominasi oleh batuan kapur dan endapan gamping yang otomatis membuat orang Madura menjadi sosok yang ulet, rajin bekerja, tidak pantang menyerah dan tingkat survivalnya tinggi. Sifat kaum Madura yang ingin menguasai segalanya menjadikannya sebagai suatu alasan kuat mengapa konflik dengan etnis Melayu ini terjadi. Kaum Madura mulai berusaha menguasai sawah, ladang dan perkebunan milik etnis Melayu dengan cara-cara licik dan aneh. Mereka juga kadang menyindir etnis Melayu yang cenderung berpembawaan tenang dengan sebutan ”Melayu Kerupuk” yang dinilai etnis Melayu sebagai suatu penghinaan terhadap komunitas mereka.
C. Konflik Etnis Melayu dengan Etnis Madura dalam Konteks Sosial Budaya
Banyak aspek yang memicu konflik antar kelompok masyarakat di Sambas ini terjadi. Kemarahan dan akumulasi dendam sebagai akibat dari kecemburuan sosial, sikap eksklusivitas kaum Madura, serta perasaan kaum Melayu yang merasa termarginalisasi dan merasa tidak ditempatkan sebagai komunitas masyarakat yang memiliki hak sepenuhnya atas tanah dan lingkungan dimana mereka hidup membuat konflik yang sebelumnya berada di tahapan laten menjadi konflik yang muncul dan mencuat ke permukaan secara massif.
Benturan kebudayaan, dimana masing–masing kelompok berusaha mempertahankan apa yang menjadi kebudayaan dan identitas kelompoknya menjadi konflik tersendiri dalam arena pertarungan antara Melayu dengan Madura. Suku bangsa Melayu yang cenderung lebih suka mengalah dan “lemah lembut” lama-lama panas juga karena sikap dan budaya suku Madura yang cenderung keras dan menggunakan kekerasan sebagai sarana pemecahan masalah.Ketidakmampuan suku bangsa Madura untuk beradaptasi dengan lingkungannya menyebabkan mereka semakin eksklusif dan rela melakukan segala hal jika sesuatu yang buruk terjadi dengan kelompoknya. Berbeda dengan suku Melayu yang cenderung berusaha menghindari konflik, suku Madura melanggengkan adat “carok”nya jika terjadi permasalahan. Bahkan dendam semakin memuncak tatkala Madura menyebut suku Melayu dengan sebutan “Melayu Kerupuk” atas rasa takutnya jika menghadapi masalah.
Konflik juga terjadi pada dimensi sosial masyarakat. Pertentangan antar kedua kelompok ini sudah berlangsung sejak lama, sebagai akibat dari adanya pihak yang tersakiti dalam sejarah hubungan sosial. Marginalisasi penduduk pendatang terhadap penduduk asli membuat luka tersendiri bagi masyarakat Melayu dan mengakumulasi prasangka antar-etnik. Tidak berfungsinya aparat secara optimal malah membuat konflik semakin melebar. Secara umum, konflik yang terjadi di Kalimantan Barat juga disebabkan oleh tindak-tindak kekerasan yang dilakukan oleh beberapa oknum, namun digeneralisasikan sebagai hasil perbuatan kelompok etnis tertentu yang menyebabkan amarah bagi kelompok lain. Pola segregasi sosial danpembentukan stereotype juga menjadi point penting dalam konflik Sambas. Cara hidup kelompok etnis Madura yang menggerombol dan cenderung eksklusif membuat lemahnya kontak sosial etnis Madura dengan masyarakat sekitarnya (Suroyo, 2001). Sifat etnis Madura yang keras dan penggunaan cara-cara kotor dalam beraktivitas membuat tumbuhnya prasangka dan konflik antar etnis di Sambas.
Akumulasi rasa sakit hati dan dendam akhirnya muncul kepermukaan tatkala terjadi kasus pembunuhan yang melibatkan kedua etnis. Dengan massa yang begitu besar, Melayu berhasil menjatuhkan etnis Madura dengan cara-cara yang sadis pula. Madura berhasil terusir dari bumi Sambas. Kerusuhan besar pun tak terelakkan, dimana terdapat sedikitnya 177 orang tewas, 71 luka berat, 40 luka ringan, 12.185 rumah terbakar, 315 dirusak dan 21.626 warga Madura terusir dari tempat tinggalnya. Hingga pada akhirnya, terjadi kondisi umum pascakonflik, dimana orang Madura ditolak masuk Sambas kembali. Kelompok-kelompok yang mendukung penolakan kaum Madura mulai bermunculan. Salah satunya adalah FKPM (Forum Komunikasi Pemuda Melayu), dengan jaringan yang amat kuat di kalangan elite formal (birokrasi, DPRD) maupun elite informal (Kesultanan Sambas) dan dukungan luas masyarakat Sambas yang masih merasa sakit hati dan dendam dengan etnis Madura.
D. Proses De-eskalasi Konflik Sebagai Dinamika dalam Konflik Sambas
- Peranan Negara dalam Resolusi Konflik Sambas
Dalam upaya untuk mencegah keberadaan konflik yang semakin meluas, maka negara berusaha untuk melakukan tindakan peredaman dengan melibatkan berbagai aparat keamanan. Namun sayang, keberadaan aparat yang diterjunkan tidak bertindak secara netral, mereka masih memihak kepada etnis Melayu dan malah cenderung membiarkan kerusuhan itu terjadi. Polsek dan Koramil tidak mampu mengendalikan situasi dan membuat kerusuhan semakin meluas dan memakan banyak korban dan harta benda.
Jika ditinjau dalam jangka panjang, upaya de-eskalasi konflik yang dilakukan oleh negara kurang bisa menyurutkan amarah dan prasangka negatif antara pihak yang berkonflik. Pemerintah setempat malahan membuat hidden agenda yang mendukung penolakan terhadap kaum Madura. Tak lain dan tak bukan hal ini karena mayoritas pegawai pemerintahan di Sambas dijabat oleh kaum Melayu.Hal ini sama saja dengan melakukan tindak pembiaran terhadap konflik yang terjadi. Upaya intervensi kemanusiaan dan negosiasi politis yang dilakukan negara juga tidak berfungsi dengan optimal. Upaya relokasi para warga etnis Madura dan upaya inventarisasi tanah milik warga Madura juga tidak berlangsung dengan mulus. Kurangnya koordinasi sebagai penyebab utama kegagalan upaya resolusi konflik Sambas oleh negara. Akibatnya, tanah-tanah milik Madura dikuasai oleh Melayu atau menjadi milik negara dengan alasan sebagai hasil rampasan perang.
- Peranan Masyarakat dalam Proses De-eskalasi Konflik Sambas
Peranan masyarakat dalam tahapan resolusi konflik di Sambas malah cenderung terkesan lebih efektif jika dibandingkan dengan peran negara.Secara alamiah, keberadaan Madura kembali ke bumi Sambas sedikit demi sedikit mengalami proses penerimaan kembali secara alamiah. Sedikit demi sedikit orang Melayu Sambas mulai bebas beraktivitas di terminal Batulayang dan orang Madura mulai bisa mengunjungi sanak familinya di lokasi pengungsian. Terbukanya pintu Sambas bagi orang Madura terlihat pula melalui hadirnya orang Madura dalam acara-acara pernikahan, pertandingan olahraga maupun kesenian dan diadakannya forum yang diinisiasi oleh beberapa pemuda Madura yang berisi kritik internal terhadap budaya Madura yang bertujuan menurunkan perilaku dan budaya kekerasan orang Madura. Beberapa kasus menyebutkan adanya konsep “pilih antah” dalam masyarakat Sambas yang memiliki maksud bahwamasyarakat Sambas akan menerima kembali orang Madura yang memilikitrack record bagus.
Sudut Pandang Madura Sudut Pandang Melayu
E. Pihak Lain yang Berpengaruh dalam Konflik
- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Dalam konflik Sambas, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berperan dalam upaya mengadakan berbagai dialog antar berbagai pihak yang terlibat dalam konflik. LSM-LSM tersebut antara lain adalah YPPM (Yayasan Pemberdayaan People Nusantara), LBBT (Lembaga Bala Benoa Tahno), dan MAM (Majelis Adat Melayu). Salah satu LSM yaitu YKKS (Yayasan Korban Kerusuhan Sambas) berupaya keras dalam upaya pengembalian etnis Madura ke bumi Sambas, namun gagal dalam pelaksanaannya. Namun bermacam dialog yang digagas LSM-LSM tersebut hanya sebatas dialog, belum ada follow up yang mendorong resolusi konflik. Beberapa LSM malah dibentuk guna mobilisasi politis semata.
- Ikatan-ikatan Etnisitas Eksklusif
Keberadaan organisasi seperti Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) atau Ikamra (Ikatan Keluarga Madura) tidak berperan secara optimal dalam upaya rekonsiliasi pascakonflik. Organisasi-organisasi tersebut jelas lebih mengangkat identitas cultural masing-masing etnis, dan tidak mempertimbangkan akan keberadaan dan kepentingan etnis lainnya. Hal tersebut membuat sulitnya mempertemukan antar identitas yang berbeda, karena masing masing organisasi bergerak secara eksklusif.
- Organisasi Lintas Etnis
Keberadaan organisasi lintas etnis yang tercermin dari keberadaan Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat (FKMKB) itu tidak terlalu berperan dalam upaya resolusi konflik di Sambas. Lebih tragis lagi, kelompok-kelompok yang berdasarkan ikatan eksklusif kesukuan malah terlihat lebih hidup. Keberadaan organisasi ini nyaris sama sekali tidak efektif, terlihat dari keterlibatan anggota yang tidak sepenuh hati, mereka dari luar memang terlihat kompak, namun akan berbalik 90 derajat jika menemui masalah.
F. Konflik Etnis Melayu VS Madura di Sambas Jika Ditinjau Dari Segitiga PolaKonflik
Struktural
(Kondisi objektif: pendidikan, pekerjaan, kelas)
Perilaku Kultural
(agresif / tidak agressif)(terkait sikap, orientasi, persepsi)
Konflik yang terjadi antara kelompok masyarakat etnis Melayu dengan etnis Madura di Sambas termasuk dalam cultural violence, yang diakibatkan dari stereotype negatif terhadap entitas tertentu dalam masyarakat. Rasa saling tidak percaya ataupun prasangka buruk yang terpendam dalam tiap hati dan sanubari individu membuat konflik ini hidup dalam nuansa konflik laten. Konflik laten yang ada di masyarakat bisa saja timbul kembali ke permukaan dalam beberapa jangka waktu kedepan mengingat masih banyaknya penolakan terhadap etnis Madura dan rasa dendam serta sakit hati masyarakat Melayu terhadap etnis yang identik dengan kekerasan tersebut.
G. Solusi Konflik Sambas
Penyelesaian konflik Sambas dilakukan melalui cara non-Litigasi, dengan cara negosiasi seperti yang dilakukan oleh salah satu LSM yaitu YKKS (Yayasan Korban Kerusuhan Sambas) dan Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat yang berupaya keras dalam upaya pengembalian etnis Madura ke bumi Sambas, namun gagal dalam pelaksanaannya.
Jika dikaitkan dengan teori Kriesberg tentang tahapan dalam resolusi konflik, terlihat bahwa penyelesaian konflik dalam kasus ini sedang berada dalamtahapan intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik. Masyarakat secara otomatis memberlakukan konsep “pilih antah yang memiliki maksud bahwa masyarakat Sambas akan menerima kembali orang Madura yang memiliki track record bagus. Namun keberadaan FKPM (Forum Komunikasi Pemuda Melayu) merupakan batu penghalang kembalinya etnis Madura ke Sambas, FKPM menentang dengan keras akan konsep “pilih antah” diatas. Beberapa kelompok Melayu juga menentang dengan keras akan wacana kembalinya warga etnis Madura ke Sambas karena masih ada trauma di pribadi masyarakat, selain itu masyarakat juga sudah merasa damai akan hilangnya warga Madura di lingkungan mereka. Dalam tahapan intervensi kemanusiaan, negara dalam hal ini pemerintah Propinsi Kalimantan Barat berperan dalam proyek penampungan para pengungsi dari etnis Madura. Sedangkan dalam segi negosiasi politis, negara tidak banyak berperan, kalaupun ada, negosiasi hanya semacam difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa penyelesaian konflik ini ada pada tahapan polarisasi, dimana ada pihak ketiga yang ikut serta dalam upaya penyelesaian konflik.
Dalam konteks Kalbar, pemerintah menganggap konflik telah selesai ketika para pengungsi akibat konflik telah dipindah ke lokasi pemukiman baru. Mereka tidak melihat bahwa perasaan-perasaan curiga, stereotype, dan prasangka antara etnis masih berkembang ditingkat masyarakat Kalbar. Masih adanya penolakan oleh kelompok etnis tertentu kepada kelompok etnis yang lain di Kalbar untuk kembali ke asalnya hingga kini masih terjadi. Permasalahan-permasalahan kejelasan hak para pengungsi dan korban konflik etnis, terutama bagi etnis yang kalah, hingga kini masih buram. Pemerintah daerah tidak mau secara terbuka membicarakan kasus-kasus tersebut secara terbuka. Dilain sisi muncul dugaan bahwa pemerintah daerah mencoba untuk membatasi ruang dialog antar etnis pada isu-isu tertentu karena alasan sensitivitas isu yang ditakutkan akan menganggu stabilitas keamanan.
Salah satu kunci membina perdamaian yang berkesinambungan adalah bagaimana membangun kepercayaan yang ada ditingkat grassroot. Dengan membangun kepercayaan yang ada ditingkat grassroot, permasalahan-permasalahan sepele akan dapat segera diselesaikan ditingkat lokal tanpa melibatkan pihak yang diatasnya, masyarakat dapat segera mandiri dapat menyelesaikan konfliknya dengan cara-cara yang tentu saja menjadi kesepakatan umum dan hukum. Kemandirian warga dalam menyelesaikan konfliknya tak lepas dari seberapa berdayanya kekuatan institusi-institusi lokal yang ada di masyarakat lokal dan hukum dapat berfungsi dengan baik.
Harus ada ukuran-ukuran yang jelas dan kompeten untuk menunjukkan perdamaian di Kalbar. Sampai dalam tahapan mana perubahan-perubahan telah terjadi. Seperti apa yang disarankan oleh John Paul Lederach (2003) dalam konsepnya tentang Transformasi Konflik (Conflict Transformation) dimana setiap proses untuk mencapai perdamaian yang berkesinambungan sebaiknya dapat menyentuh 4 dimensi perubahan yang signifikan, yaitu dimensi perubahan yang ada tingkat personal, relasional, structural, dan yang paling ideasional adalah tingkatan cultural, atau perubahan yang ada ditingkat pengetahuan budaya yang menjadi acuan bagi kelompok dalam bertindak.
Kesimpulan:
Jika dilihat dari kacamata manajemen konflik, sesungguhnya konflik yang terjadi antara etnis Melayu dengan Madura di Sambas, Kalimantan Barat ini merupakan konflik antar kelompok masyarakat atau konflik horizontal. Konflik ini berasal dari akumulasi dari stereotype dan rasa sakit hati etnis Melayu kepada etnis Madura. Sedangkan pembunuhan warga Melayu oleh warga Madura, dan beberapa kasus sepele semakin memicu datangnya konflik ini. Dari meluasnya kerusuhan-kerusuhan yang terjadi, banyaknya korban tewas dan kerusakan-kerusakan dapat disimpulkan Negara tidak mampu mencegah meluasnya konflik. Pada tahap de-eskalasi, Negara gagal dalam memainkan peranan jangka pendek yakni terhadap upaya mencegah eskalasi yang bersifat masif dan destruktif, disamping tidak mampu secara cepat menghentikan berlanjutnya kekerasan.
Kasus ini sedang berada dalam tahapan intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik. Masyarakat secara otomatis memberlakukan konsep “pilih antah” yang memiliki maksud bahwa masyarakat Sambas akan menerima kembali orang Madura yang memiliki track record bagus, namun disisi lain masih banyak pula masyarakat yang menentang kembalinya warga etnis Madura karena alasan traumatic tersendiri. Konflik yang terjadi antara kelompok masyarakat etnis Melayu dengan etnis Madura di Sambas termasuk dalam cultural violence, yang diakibatkan dari stereotype negatif terhadap entitas tertentu. Rasa saling tidak percaya ataupun prasangka buruk yang terpendam dalam tiap hati dan sanubari individu membuat konflik ini hidup dalam nuansa konflik laten. Seharusnya pemerintah mengupayakan kembalinya warga Madura terkait atas hak-hak komunalnya yang masih ada di Sambas seperti hak kepemilikan tanah, serta hak untuk menghormati adat leluhurnya dengan mengunjungi makam dan hak untuk mengurus ladang serta persawahan mereka. Pemerintah seharusnya juga melihat bahwa perasaan-perasaan curiga, stereotype, dan prasangka antara etnis masih berkembang ditingkat masyarakat Kalbar yang bisa menimbulkan letusan konflik lagi di kemudian hari yang perlu untuk segera ditanggulangi. Salah satu kunci membina perdamaian yang berkesinambungan adalah bagaimana membangun kepercayaan yang ada ditingkat grassroot, karena kemandirian warga dalam menyelesaikan konfliknya tak lepas dari seberapa berdayanya kekuatan institusi-institusi lokal yang ada di masyarakat lokal dan hukum dapat berfungsi dengan baik.
Selasa, 20 November 2012

perihal karangan argumentasi dan persuasi


PENGERTIAN ARGUMENTASI
Menurut Buku 'Argumentasi dan Narasi' karya Gorys Keraf, Argumentasi adalah suatu bentuk retorika yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain,
Argumentasi adalah salah satu jenis pengembangan paragraf dalam penulisan yang ditulis dengan tujuan untuk meyakinkan atau membujuk[rujukan?] pembaca. Dalam penulisan argumentasi isi dapat berupa penjelasan, pembuktian, alasan, maupun ulasan obyektif dimana disertakan contoh, analogi, dan sebab akibat.
Pengertian ARGUMENTASI Menurut kamus besar bhs. Indonesia, Adalah tulisan yang bertujuan meyakinkan kepada pembaca untuk membuktikan kebenaran.
Karangan argumentasi adalah jenis paragraf yang mengungkapkan ide, gagasan, atau pendapat penulis dengan disertai bukti dan fakta (benar-benar terjadi).
Tujuannya adalah agar pembaca yakin bahwa ide, gagasan, atau pendapat tersebut adalah benar dan terbukti.
Paragraf Argumentasi Adalah paragraf yang membuktikan suatu kebenaran. Untuk memperkuat ide atau pendapat disertakan data pendukung. Tujuannya, pembaca menjadi yakin atas kebenaran yang disampaikan penulis.
Paragraf Argumentasi adalah paragraf atau karangan yang membuktikan kebenaran tentang sesuatu.
Untuk memperkuat ide atau pendapatnya penulis wacana argumetasi menyertakan data-data pendukung. Tujuannya, pembaca menjadi yakin atas kebenaran yang disampaikan penulis.
Dalam paragraf argumentasi, biasanya ditemukan beberapa ciri yang mudah dikenali.
Ciri- ciri tersebut misalnya (1) ada pernyataan, ide, atau pendapat yang dikemukakan penulisnya; (2) alasan, data, atau fakta yang mendukung; (3) pembenaran berdasarkan data dan fakta yang disampaikan. Data dan fakta yang digunakan untuk menyusun wacana atau paragraf argumentasi dapat diperoleh melalui wawancara, angket, observasi, penelitian lapangan, dan penelitian kepustakaan. Pada akhir paragraf atau karangan, perlu disajikan kesimpulan.
Argumentasi bermakna µalasan¶. Argumentasi berarti pemberian alasan yang kuat dan meyakinkan. Dengan demikian, paragraf argumentasi adalah paragraf yang mengemukakan alasan, contoh, dan bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan. Alasan-alasan, bukti, dan sejenisnya, digunakan penulis untuk mempengaruhi pembaca agar mereka menyetujui pendapat, sikap atau keyakinan.
Karangan ini bertujuan membuktikan kebenaran suatu pendapat/kesimpulan dengan data/fakta sebagai alasan/bukti. Dalam argumentasi pengarang mengharapkan pembenaran pendapatnya dari pembaca. Adanya unsur opini dan data, juga fakta atau alasan sebagai penyokong opini tersebut.
Ciri-ciri karangan argumentasi:
Menjelaskan pendapat agar pembaca yakin.
Memerlukan fakta untuk pembuktian berupa gambar/grafik, dan lain-lain.
Menggali sumber ide dari pengamatan, pengalaman, dan penelitian.
Penutup berisi kesimpulan.
Ciri-ciri/karakteristik karangan Argumentasi
a. Berusaha meyakinkan pembaca akan kebenaran gagasan pengarang sehingga kebenaran itu diakui oleh pembaca
b. Pembuktian dilengkapi dengan data, fakta, grafik, tabel, gambar
c. Dalam argumentasi pengarang berusaha mengubah sikap, pendapat atau pandangan pembaca
d. Dalam membuktikan sesuatu, pengarang menghindarkan keterlibatan emosi dan menjauhkan subjektivitas
e. Dalam membuktikan kebenaran pendapat pengarang, kita dapat menggunakan bermacam-macam pola pembuktian
Langkah menyusun argumentasi:
Menentukan topik/tema
Menetapkan tujuan
Mengumpulkan data dari berbagai sumber
Menyusun kerangka karangan sesuai dengan topik yang dipilih
Mengembangkan kerangka menjadi karangan argumentasi.

[sunting]Paragraf Persuasi
Paragraf Persuasi ialah suatu bentuk karangan yang bertujuan membujuk pembaca agar mau berbuat sesuatu sesuai dengan keinginan penulisnya. Agar tujuannya dapat tercapai, penulis harus mampu mengemukakan pembuktian dengan data dan fakta.
Ciri-ciri paragraf persuasi, yaitu:
1.   Persuasi berasal dari pendirian bahwa pikiran manusia dapat diubah.
2.   Harus menimbulkan kepercayaan para pembacanya.
3.   Persuasi harus dapat menciptakan kesepakatan atau penyesuaian melalui epercayaan antara penulis dengan pembaca.
4.   Persuasi sedapat mungkin menghindari konflik agar kepercayaan tidak hilang dan supaya kesepakatan pendapatnya tercapai.
5.   Persuasi memerlukan fakta dan data.

Langkah menyusun persuasi:
Menentukan topik/tema
Merumuskan tujuan
Mengumpulkan data dari berbagai sumber
Menyusun kerangka karangan
Mengembangkan kerangka karangan menjadi karangan persuasi
Perbedaan & Persamaan Argumentasi dengan Persuasi
Perbedaan & Persamaan Argumentasi dengan Persuasi

Argumentasi
A. Tujuan untuk meyakinkan pembaca berisi gagasan, pendapat, atau tanggapan tentang suatu masalah. Karangan Argumentasi bertujuan mempengaruhi pembaca, sehingga pembaca akhirnya menyetujui bahwa pendapat keyakinan dan sikap penulis benar.
B. Penyertakan alasan dan bukti, pembaca yakin bahwa gagasan penulis adalah benar.
C. Di dalamnya disertakan bukti-bukti kuat
D. Dalam paparan disertai dengan grafik, statistik dan lain-lain untuk membuktikan

Persuasi
A. Bertujuan mempengaruhi pembaca untuk berbuat sesuatu
B. Untuk mencapai tujuan itu, penulis tidak menggunakan bentuk paksaan terhadap pembaca, melainkan menggunakan upaya untuk merangsang pembaca mengambil keputusan sesuai kemauan penulis. Salah satu upaya itu adalah menyajikan bukti dan alasan.
C. Di dalamnya disertakan alasan;bersifat motorik dalam karangan / pada paparan
D. Dalam paparan hanya disertai alasan penulis untuk mempengarahui, meskipun terdapat data berupa bukti-bukti itu pun terdapat hanya sedikit

Senin, 12 November 2012

perihal karangan narasi


Pengertian Karangan Narasi
Narasi merupakan bentuk percakapan atau tulisan yang bertujuan menyampaikan atau menceritakan rangkaian peristiwa atau pengalaman nmanusia berdasarkan perkembangan dari waktu ke waktu (Semi, 2003:29).

Narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca tentang suatu peristiwa yang telah terjadi (Keraf, 2000:136). Dari dua pengertian yang diungkapkan oleh Atarsemi dan Keraf. Dapat kita ketahui bahwa narasi berusaha menjawab sebuah proses yang terjadi tentang pengalaman atau peristiwa manusia dan dijelaskan dengan rinci berdasarkan perkembangan dari waktu ke waktu.

Narasi adalah suati karangan yang biasanya dihubung0hubungkan dengan cerita. Oleh sebab itu sebuah karangan narasi atau paragraf narasinya hanya kita temukan dalam novel. Cerpen, atau hikayat (Zaenal Arifin dan Amran Tasai, 2002:130). Narasi adalah karangan kisahan yang memaparkan terjadinya sesuatu peristiwa, baik peristiwa kenyataan, maupun peristiwa rekaan (Rusyana, 1982:2).

Dari pendapat- pendapat di atas, dapat diketahui ada beberapa halyang berkaitan dengan narasi. Hal tersebut meliputi: 1.) berbentuk cerita atau kisahan, 2.) menonjolkan pelaku, 3.) menurut perkembangan dari waktu ke waktu, 4.) disusun secara sistematis.

2. Ciri-ciri Karangan Narasi
Menurut Keraf (2000:136)

- Menonjolkan unsur perbuatan atau tindakan.

- dirangkai dalam urutan waktu.

- berusaha menjawab pertanyaan, apa yang terjadi?

- ada konfiks.

Narasi dibangun oleh sebuah alur cerita. Alur ini tidak akan menarik jika tidak ada konfiks. Selain alur cerita, konfiks dan susunan kronlogis, ciri-ciri narasi lebih lengkap lagi diungkapkan oleh Atar Semi (2003: 31) sebagai berikut:

- Berupa cerita tentang peristiwa atau pengaalaman penulis.

- Kejadian atau peristiwa yang disampaikan berupa peristiwa yang benar-benar terjadi, dapat berupa semata-mata imajinasi atau gabungan keduanya.

- Berdasarkan konfiks, karena tanpa konfiks biasanya narasi tidak menarik.

- Memiliki nilai estetika.
- Menekankan susunan secara kronologis.

Ciri yang dikemikakan Keraf memiliki persamaan dengan Atar Semi, bahwa narasi memiliki ciri berisi suatu cerita, menekankan susunan kronologis atau dari waktu ke waktu dan memiliki konfiks. Perbedaannya, Keraf lebih memilih ciri yang menonjolkan pelaku.
       Setiap karangan mempunyai karakter atau ciri-ciri tersendiri sebagai pembeda dengan jenis karangan yang lain. Sujanto (1988:111) berpendapat bahwa ciri utama narasi adalah gerak atau perubahan dari keadaan suatu waktu menjadi keadaan yang lain pada waktu berikutnya, melalui peristiwa-peristiwa yang berangkaian.

       Pendapat lain dikemukakan oleh Nursisto (1999:32) yang menyatakan bahwa ciri-ciri narasi, yaitu (1) bersumber dari fakta atau sekadar fiksi, (2) berupa rangkaian peristiwa, dan (3) bersifat menceritakan.

        Sebuah karangan narasi dapat bersumber dari kejadian yang benar-benar terjadi atau dialami (nyata atau fakta). Misalnya, ketika melihat terjadinya kecelakaan, bencana alam, dan lain sebagainya, dengan catatan hal tersebut benar-benar terjadi bukan rekayasa. Karangan tersebut disebut sebagai karangan narasi yang bersumber dari fakta.

         Selain bersumber dari fakta, karangan narasi juga bisa bersumber dari fiksi, yaitu hasil imajinasi atau rekayasa bukan atas dasar kejadian sebenarnya. Kemudian, ciri karangan narasi selanjutnya yaitu berupa rangkaian terjadinya suatu peristiwa, adanya hubungan antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain. Selanjutnya, ciri karangan narasi yang paling khas adalah menceritakan (kronologis peristiwa).

            Narasi dibangun oleh sebuah alur cerita. Alur ini tidak akan menarik jika tidak ada konfik. Selain alur cerita, konflik dan susunan kronlogis, ciri-ciri narasi lebih lengkap lagi diungkapkan oleh Semi (2003:31) sebagai berikut: 1) berupa cerita tentang peristiwa atau pengalaman penulis, 2) kejadian atau peristiwa yang disampaikan berupa peristiwa yang benar-benar terjadi, dapat berupa semata-mata imajinasi atau gabungan keduanya, 3) berdasarkan konflik, karena tanpa konflik biasanya narasi tidak menarik, 4) memiliki nilai estetika, dan 5) menekankan susunan secara kronologis.

          Pendapat relevan dikemukakan oleh Keraf (dalam Caray 2009) ciri-ciri karangan narasi, yaitu 1) menonjolkan unsur perbuatan atau tindakan, 2) dirangkai dalam urutan waktu, 3) berusaha menjawab pertanyaan, apa yang terjadi?, dan 4) ada konflik.

       Ciri yang dikemikakan Keraf memiliki persamaan dengan Atar Semi, bahwa narasi memiliki ciri berisi suatu cerita, menekankan susunan kronologis atau dari waktu ke waktu, dan memiliki konflik. Perbedaannya, Keraf lebih memilih ciri yang menonjolkan pelaku.

         Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan ciri-ciri karangan narasi yaitu (1) berupa rangkaian kejadian atau peristiwa, (2) latar yang berupa latar waktu dan tempat terjadinya peristiwa, (3) alasan atau latar belakang pelaku mengalami peristiwa, (4) ada pelaku atau tokoh yang mengalami peristiwa, dan (5) menekankan susunan kronologis.

 3. Langkah-langkah/teknik menulis karangan narasi

1.) Tentukan dulu tema dan amanat yang akan disampaikan

2.) tetapkan sasaran pembaca kita

3.) rancang peristiwa-peristiwa utama yang akan ditampilkan dalam bentuk skema alur

4.) bagi peristiwa utama itu ke dalam bagian awal, perkembangan, dan akhir cerita

5.) Rincian peristia-peristiwa uatama ke dalam detail-detail peristiwasebagai pendukung cerita
6.) susun tokoh dan perwatakan, latar, dan sudut pandang.



Minggu, 11 November 2012

hakikat membaca kreatif


Hakikat Membaca Kreatif
Tarigan (dalam Pratiwi, 2007: 73) dalam pembahasan tentang maksud kegiatan membaca, menyatakan ada dua tujuan membaca, yakni tujuan behavioral, dan tujuanekspresif.  Tujuan behavioral diarahkan pada kegiatan membaca untuk memahami makna kata, keterampilan studi, dan pemahaman.  Tujuan ekspresif terkandung dalam kegiatan membaca pengarahan diri, interpretative, dan membaca kreatif.
Dari uraian tersebut, membaca kreatif merupakan kegiatan membaca yang bertujuan ekspresif.  Membaca kreatif bertujuan agar pembaca terampil berkrasi dalam hal-hal dramatisasi, interpretasi lisan, narasi pribadi, ekspresi tulis, dan ekspresi visual.  Batasan yang dikemukakan Tarigan lebih condong ke membaca dengan bahan bacaan karya fiksi.
Harras dan Sulistianingsih (dalam Pratiwi, 2007: 73), dengan mengutip dariDictionary of Reading, menuliskan bahwa membaca kreatif merupakan proses membaca untuk mendapatkan nilai tambah dari pengetahuan yang baru, yang terdapat dalam bacaan dengan cara mengidentifikasi ide-ide yang menonjol atau mengombinasikan pengetahuan sebelumnya yang pernah didapatkan pembaca.  Dengan membaca kreatif, pembaca dituntut mencermati ide-ide lalu membanding-bandingkannya dengan ide sejenis yang terdapat dalam bahan bacaan lain.  
Batasan lain tentang membaca kreatif dikemukakan oleh Moorman dan Ram(dalam Pratiwi, 2007: 74).  Menurut mereka, membaca kreatif adalah tugas membaca yang diterapkan pada teks-teks yang mengandung konsep-konsep baru bagi pembaca,  jika dikaitkan dengan kemampuan pembaca kreatif menurut Nurhadi (dalam Pratiwi, 2007: 73) batasan ini, antara lain berkenaan dengan kemampuan pembaca membaca buku baru, kemudian mampu menilis resensi atas buku tersebut.
Dalam membaca kreatif, pembaca dituntut mencermati ide-ide yang dikemukakan penulis, kemudian membandingkannya.  Proses lebih penting dari kegiatan membaca kreatif itu tidak sekedar menangkap makna dan maksud bahan bacaan, tetapi juga menerapkan ide-ide atau informasi yang tertuang dalam bacaan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya kualitas hidupnya. Pembaca juga diharapkan dapat melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidupnya berdasarkan informasi dari bacaannya. Dengan menerapkan informasi yang diharapkan, kualitas hidup pembaca akan lebih terarah dan meningkat.
Membaca kreatif merupakan tingkatan membaca pemahaman pada level yang paling tinggi. Pembaca dalam level ini harus berpikir kritis dan harus menggunakanimajinasinya. Dalam membaca kreatif, pembaca memanfaatkan hasil membacanya untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan emosionalnya.  Kemampuan itu akan bisa memperkaya pengetahuan-pengetahuan, pengalaman dan meningkatkan ketajaman daya nalarnya sehingga pembaca bisa menghasilkan gagasan-gagasan baru.  Proses membaca kreatif ini menurut Syafi’ie (diakses 16 mei 2012) dimulai dari memahami bacaan secara literal kemudian menginterpretasikan dan memberikan reaksinya berupa penilaian terhadap apa yang dikatakan penulis, dilanjutkan dengan mengembangkan pemikiran pemikiran sendiri untuk membentuk gagasan, wawasan, pendekatan dan pola-pola pikiran baru.
Dari berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa membaca kreatif adalah suatu kegiatan di mana terjadi sebuah proses untuk mendapatkan nilai tambah dari pengertahuan baru yang terdapat dalam bacaan. Caranya, dengan mengidentifikasikan ide-ide yang menonjol atau mengombinasikan dengan pengetahuan yang pernah diperoleh sebelumnya.

2.4       Karakteristik Membaca Kreatif
Karakteristik membaca kreatif yang dikemukakan oleh Nurhadi (dalam Pratiwi, 2007: 74) adalah sebagai berikut:
1.    Kegiatan membaca kreatif tidak berhenti sampai pada saat pembaca menutup buku.
2.    Mampu menerapkan hasilnya untuk kepentingan hidup sehari-hari.
3.    Munculnya perubahan sikap dan tingkah laku setelah proses membaca.
4.    Hasil membacanya berlaku sepanjang masa.
5.    Mampu menilai secara kritis dan kreatif bahan-bahan bacaan.
6.    Mampu memecahkan masalah kehidupan sehari-hari berdasarkan hasil bacanya.
7.    Mampu memilih atau menentukan bahan bacaan yang tepat sesuai dengan kebutuhan atau minatnya.
8.    Tampak kemajuan dalam cara berpikir atau cara pandang terhadap suatu masalah.
Terbentuk kematangan dalam cara pandang, sikap, dan cara berpikir.
9.    Tampak wawasan semakin jauh ke depan dan mampu membuat analisis sederhana terhadap suatu persoalan.
10.     Ada peningkatan dalam prestasi atau profesionalisme kerja.
11.     Semakin berpikir praktis dan pragmatis dalam segala persoalan.
12.     Semakin kaya ide baik dalam meningkatan mutu maupun membuat terobosan baru dalam memecahkan persoalan.
13.     Semakin kuat dorongan untuk membaca dan mencari terus sumber-sumber baru.
14.     Semakin enak diajak bertukar pikiran atau pengalaman karena ia semakin kaya wawasan.




Selanjutnya, Nurhadi (dalam Pratiwi, 2007: 75)  menuliskan bahwa kemampuan membaca kreatif meliputi:
1.    Kemampuan membuat ringkasan;
2.    Kemampuan membuat kerangka bacaan;
3.    Kemampuan menyusun resensi;
4.    Kemampuan menerapkan isi bacaan dalam konteks kehidupan sehari-hari;
5.    Kemampuan membuat easi balikan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa pembaca kreatif mampumenarik simpulan dari fakta yang dibacanya.  Hal ini terwujud dalam kemampuan membuat ringkasan dan membuat kerangka bacaan.  Selain itu, pembaca kreatif juga mampu melanjutkan pemikiran penulis dalam bentuk menyusun resensi, menerapkan hasil bacanya dalam kehidupan sehari-hari, dan mampu menulis esai balikan atas bacaan yang telah dibacanya.

2.5       Penerapan Metode Membaca Kreatif
Penerapan metode membaca kreatif meliputi menarik simpulan dari fakta yang dibaca, dan melanjutkan pemikiran penulis.

a.  Menarik Simpulan dari Fakta yang Dibaca
Dalam dictionary of reading, dikatakan bahwa membaca kreatif merupakan proses membaca untuk mendapatkan nilai tambah dari pengetahuan yang baru, yang terdapat dalam bacaan dengan cara mengidentifikasi ide-ide yang menonjol.  Frasa “dengan cara mengidentifikasi ide-ide yang menonjol” bermakna bahwa pembaca kreatif harus mampu menemukan ide-ide penting dalam bacaan, yang berupa fakta.  Setelah menemukan fakta-fakta tersebut, tindak lanjut pengungkapannya adalah mampu membuat ringkasan atau membuat kerangka bacaan. 

b.  Melanjutkan Pemikiran Penulis
Selain kemampuan membuat ringkasan dan membuat kerangka bacaan, dalam melanjutkan pemikiran penulis, ada tiga kemampuan yang perlu diterapkan seorang pembaca kreatif, yaitu kemampuan menyusun resensi, kemampuan menerapkan isi bacaan dalam konteks kehidupan seharu-hari, dan kemampuan menyusun esai balikan.
            Menulis resensi adalah wujud atau bukti bahwa kegiatan membaca kreatif tidak berhenti sampai pada  saat pembaca menutup buku.  Adapun kemampuan menerapkan hasil bacaan dalam kehidupan sehari-hari sebagai perwujudan bahwa pembaca kreatif mampu menerapkan hasil bacaannya untuk kepentingan sehari-hari.  Dan kemampuan menyusun esai balikan sebagai perwujudan bahwa pembaca kreatif mampu menulis esai balikan,  terhadap esai yang telah dibacanya.  Ketiga kemampuan tersebut merupakan bentuk kegiatan seorang pembaca kreatif untuk menindaklanjuti pemikiran penulis (Pratiwi, 2007:72).

MEMBACA KREATIF
 Pengertian Membaca Kreatif.
Membaca kreatif adalah kegiatan membaca yang tidak hanya sekedar menagkap makna tersurat, makna antar baris, tetapi juga mampu secara kreatif menerapkan hasil membacanya untuk kehidupan sehari-hari.
Dalam membaca kreatif, pembaca dituntut mencermati ide-ide yang dikemukakan penulis, kemu-dian membanding-bandingkannya.
Proses lebih penting dari kegiatan membaca kreatif itu tidak sekadar menangkap makna dan maksud bahan bacaan, tetapi juga menerapkan ide-ide atau informasi yang tertuang dalam bacaan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya kualitas hidupnya. Pembaca juga diharapkan dapat melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidupnya berdasarkan informasi dari bacaannya. Dengan menerapkan informasi diharapkan, kualitas hidup pembaca akan lebih terarah dan meningkat. Kalau ternyata begitu selesai membaca tidak ada tindak lanjutnya, berarti ia bukan pembaca kreatif.
Dalam diri seorang pembaca kreatif secara otomatis akan tampak sejumlah kemajuan, baik dalam kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dengan kata lain, tingkatan membaca kreatif lebih tinggi daripada membaca literal atau kritis.
 Manfaat Membaca Kreatif.
Membaca kreatif akan memberikan banyak manfaat dalam berbagai bidang. Misalnya, wacana tentang siraman rohani, pemikiran para budayawan, informasi cara merawat kesehatan tubuh, informasi soal cara membuat makanan atau barang.
Ada juga yang memberikan informasi soal cara memanfaatkan lahan milik kita, misalnya membudidayakan tanaman hias, tanaman obat, dan lain-lain. Apabila Anda tertarik untuk memelihara ternak atau tanaman, dari buku pun Anda dapat belajar cara merawatnya, memilih pupuk atau pakan yang diperlukan, dan sebagainya. Pilihan lain untuk menambah pengetahuan antara lain, cara membuat bangunan dan menata ruangan secara artistik, termasuk cara merenovasi suatu bangunan agar terkesan lebih nyaman dan indah.
 Tujuan Membaca Kreatif.
 Memahami informasi yang didapat dengan lebih mendalam.
 Mengetahui sesuatu dengan lebih mendalam.
 Contoh Membaca Kreatif.
Seorang mahasiswa/pembaca saat membca sebuah buku tidak akan berhenti disitu saja, tetapi ia selalu mencatat sesuatu yang dianggap penting, menandai sesuatu yang dianggap sulit/asing, dan selalu mengaplikasikannya dengan kehidupannya serta meningkatkan bacaannya.