Kamis, 22 November 2012

konflik sambas


KONFLIK SAMBAS
Tulisan ini mencoba menganalisis sebuah konflik yang terjadi antar kelompok masyarakat yang hidup di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, yaitu konflik antara suku asli Kalimantan (etnis Melayu) dengan etnis pendatang yaitu etnis Madura, yang pada bulan Februari tahun 1999 sempat meletus dan menewaskan sedikitnya 200 orang dan membuat 30.000-an warga mengungsi. Etnis Madura yang dikenal sebagai kelompok yang eksklusif yang berusaha melanggengkan tradisi daerah asalnya yang keras dan kejam membuatnya sulit beradaptasi dengan lingkungannya dan membuat suku ini dicap buruk oleh sekitarnya. Konflik ini terjadi sebagai akumulasi dari stereotype dan rasa sakit hati etnis Melayu yang sudah terpendam sejak lama dan akhirnya meletus setelah dipicu oleh pembunuhan salah satu warga Melayu oleh salah satu warga Madura. Konflik semakin meluas tatkala peran negara dalam upaya resolusi konflik jangka pendek maupun jangka panjang mengalami kegagalan.
A. Penyebab dan Pemicu Konflik Antar Etnis di Sambas, Kalimantan Barat.
- Stereotype dan Rasa Sakit Hati Antar Etnis sebagai Penyebab Utama Konflik
Konflik antar etnik sudah tidak bisa dilepaskan dalam realitas sosial masyarakat di Kalimantan Barat. Di provinsi yang juga dikenal sebagai “bumi khatulistiwa” ini, masyarakat dari berbagai suku, agama dan etnis hidup bersama. Di dalam bingkai etnisitas sendiri, Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Sambas memiliki keanekaragaman etnis yang cukup berwarna, ada etnis Dayak dan Melayu sebagai “penduduk asli” pulau Kalimantan, namun tak sedikit pula etnis lain yang menjadi “kaum pendatang” di bumi Sambas, antara lain etnis Jawa, Sunda, Tionghoa, Bugis dan Madura. Namun pada dasarnya, hubungan antara berbagai etnis yang hidup berdampingan di Sambas gagal dalam menghasilkan proses adaptasi etnisitas yang sehat. Berkurangnya daya dukung terhadap akses lingkungan dan upaya marginalisasi penduduk asli setempat malah memunculkan prasangka antar-etnik, khususnya ditujukan kepada etnik Madura.
Perlu diketahui bahwa Suku Melayu adalah suku yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan suku bangsa lainnya di Kalimantan Barat,(terutama pada saat kerajaan-kerajaan besar masih berpengaruh). Lain halnyadengan etnik Madura sebagai suku pendatang. Mereka malahan berusaha melanggengkan budaya aslinya dengan hidup berkelompok dan memiliki konsep tempat tinggal yang disebut tanean lajang. Mereka juga tidak melepaskankebiasaan seperti membawa clurit, serta aktivitas yang sangat mementingkan harga diri dan martabat suku mereka yang lebih dikenal dengan sebutan carok.Mereka juga masih membawa pola pikir keras kepala, mau menang sendiri, sombong, menyelesaikan setiap permasalahan dengan kekerasan, sangat bangga pada tradisi dan budaya sendiri, lebih senang hidup berkelompok dan membentuk komunitas ketetanggan berdasar kesukuan dan orang-orangnya cenderung suka memaksakan kehendak (Sihbudi, 2001). Karena sikap eksklusif yang mereka pegang dalam bertetangga, etnik Madura gagal beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Sikap-sikap yang dibawa oleh etnis Madura tersebut diterapkan dalam kehidupan bermasyarakatnya sehari-hari tanpa melihat akan keberadaan entitas lain dalam lingkungan tersebut. Hal itu berakibat pada munculnya rasa teror dalam masyarakat jikalau ada komunitas Madura disekitar mereka, terlebih bagi etnis Melayu yang sejatinya merupakan etnis yang “berkuasa” dan mengakar di Sambas. Kebencian dan dendam mulai muncul tatkala etnis Madura mulai “sok berkuasa” dan berusaha menduduki akses-akses vital dengan bertindak selayaknya preman di Sambas, seperti di Terminal Batulayang, tanah perkebunan dan ladang. Orang Madura dalam berinteraksi dengan warga masyarakat lainnya cenderung menggunakan norma-norma yang berlaku bagi kelompoknya sendiri tanpa mengindahkan norma—norma yang telah menjadi tatanan sosial masyarakat Sambas pada umumnya (Jatiman, 1999). Rasa saling tidak percaya dan menganggap eksistensi suatu suku yang hidup di lingkungannya menjadi penghalang bagi eksistensi suku yang lain menjadikan konflik ini tumbuh dalam hati sanubari setiap individu di masyarakat. Penguasaan akses dan sebutanMelayu pengecut membuat dendam tersendiri bagi masyarakat Melayu, eksistensi dan kehormatannya sebagai suku mayoritas seakan direnggut oleh Madura.
- Pembunuhan Warga Melayu oleh Warga Madura Sebagai Pemicu Konflik
Kerusuhan Sambas pada mulanya dipicu oleh ulah premanisme seorang pemuda Madura bernama Hasan yang berasal dari Desa Sari Makmur. Ia tertangkap basah melakukan pencurian di Desa Parit Setia yang notabene adalah desa dengan mayoritas dihuni oleh etnis Melayu pada tanggal 17 Januari 1999. Hasan pun dikeroyok oleh warga hingga kemudian diamankan di Polsek Jawai, Sambas. Beberapa orang dari etnis Madura-pun meminta agar Hasan dibebaskan. Kepulangan Hasan ternyata tidak begitu saja diterima oleh keluarga setelah melihat luka-luka bekas keroyokan warga. Hingga pada tanggal 19 Januari 1999, sekitar 200 warga Madura dari Sari Makmur menyerang desa Melayu di Parit Setia yang mengakibatkan tiga warga Melayu meninggal dunia (Sihbudi, 2001).
Amarah warga Melayu semakin meluas tatkala terjadi peristiwa penusukan kernet angkot Melayu oleh penumpang Madura. Hingga pada akhirnya kerusuhan semakin meluas, hingga mencakup beberapa kecamatan di kabupaten Sambas, seperti Kecamatan Liku, Sekura, Sejangkung, Sambas, Setebang, hingga Singkawang. Amuk massa pun tak terhindarkan dan semakin meluas hingga Maret 2000. Menurut data dan laporan khusus Kepolisian Resor Sambas, kerusuhan tersebut mengakibatkan 177 orang tewas, 71 luka berat, 40 luka ringan, 12.185 rumah terbakar, 315 dirusak, dan 21.626 warga Madura terusir dari tempat tinggalnya (Cahyono, 2008).
B. Aktor Utama dalam Konflik Sambas
Setidaknya ada dua aktor utama yang terlibat dalam konflik antar kelompok dalam masyarakat tersebut, yaitu masyarakat etnis Melayu, dan masyarakat etnis Madura. Adapun dasar serta keterlibatannya dalam konflik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat Etnis Melayu
Masyarakat etnis Melayu adalah masyarakat asli yang mendiami wilayah Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Sambas. Keberadannya yang merupakan suku asli Kalimantan membuat suku ini disegani dan memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan suku lain di Sambas. Di Kalimantan Barat sendiri prosentase jumlah suku bangsa Melayu sebesar 13%. Pada dasarnya, masyarakat etnis Melayu memiliki sifat lembut dan mudah mengalah, namun ketika berhadapan dengan suku Madura yang memiliki tempramen yang begitu keras serta dendam tersendiri yang terakumulasi secara maksimal, maka lama–kelamaan bisa memunculkan sentiment tersendiri yang bertolakbelakang dengan sifat asli masyarakat etnis Melayu.
Berawal dari perbedaan karakter dan penguasaan lahan pertanian serta sarana-sarana vital oleh warga etnis Madura yang merupakan kaum pendatang, akumulasi rasa kebencian dan stereotip negatif mulai bermunculan. Lahan-lahan pertanian dan perkebunan direbut secara “paksa” dan dengan cara-cara aneh oleh kaum Madura yang terkenal ulet dan gigih. Agresivitas kaum Madura dalam persaingan ekonomi yang sering menggunakan cara-cara yang tidak jujur, menggunakan tekanan, bahkan kekerasan semakin menambah kebencian Melayu kepada Madura. Hinaan seperti “Melayu Kerupuk” sering dilontarkan oleh orang Madura terhadap Melayu terkait jati dirinya yang cenderung tertutup dan penakut. Hal itu semakin meningkatkan kebencian suku Melayu terhadap Madura yang berlanjut tatkala terjadi konflik massif di tahun 1999-2000 tersebut.
2. Masyarakat Etnis Madura
Masyarakat etnis Madura adalah kaum pendatang yang mulai bermigrasi ke Kalimantan pada abad ke-13 sampai menjelang abad ke-20. Di Kalimantan Barat sendiri, mereka mencoba melanggengkan adat istiadat dan kebiasaan yang ada di tanah leluhurnya di Madura sana, seperti hidup secara berkelompok dan memiliki konsep hidup yang disebut sebagai tanean lajang, dimana keluarga satu keturunan ditinggali oleh satu kerabat yang masih terikat hubungan kekeluargaan yang sama (Sihbudi, 2001). Sikap eksklusif yang dimiliki oleh suku Madura ini menyebabkan mereka tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kebiasaan mereka yang hobi membawa clurit juga masih dilestarikan guna menunjukkan akan suatu kejantanan. Budaya kekerasan berupa carok juga masih ia bawa yang mewajibkan secara moral bagi orang Madura untuk membalas dendam atas tindakan yang mengancam harga dirinya atau yang menyakiti hati kerabat mereka (Alqadrie, 2002). Sifat keras juga dimiliki warga suku Madura, hal ini dikarenakan kondisi geologis dimana mereka berasal, yang cenderung didominasi oleh batuan kapur dan endapan gamping yang otomatis membuat orang Madura menjadi sosok yang ulet, rajin bekerja, tidak pantang menyerah dan tingkat survivalnya tinggi. Sifat kaum Madura yang ingin menguasai segalanya menjadikannya sebagai suatu alasan kuat mengapa konflik dengan etnis Melayu ini terjadi. Kaum Madura mulai berusaha menguasai sawah, ladang dan perkebunan milik etnis Melayu dengan cara-cara licik dan aneh. Mereka juga kadang menyindir etnis Melayu yang cenderung berpembawaan tenang dengan sebutan ”Melayu Kerupuk” yang dinilai etnis Melayu sebagai suatu penghinaan terhadap komunitas mereka.
C. Konflik Etnis Melayu dengan Etnis Madura dalam Konteks Sosial Budaya
Banyak aspek yang memicu konflik antar kelompok masyarakat di Sambas ini terjadi. Kemarahan dan akumulasi dendam sebagai akibat dari kecemburuan sosial, sikap eksklusivitas kaum Madura, serta perasaan kaum Melayu yang merasa termarginalisasi dan merasa tidak ditempatkan sebagai komunitas masyarakat yang memiliki hak sepenuhnya atas tanah dan lingkungan dimana mereka hidup membuat konflik yang sebelumnya berada di tahapan laten menjadi konflik yang muncul dan mencuat ke permukaan secara massif.
Benturan kebudayaan, dimana masing–masing kelompok berusaha mempertahankan apa yang menjadi kebudayaan dan identitas kelompoknya menjadi konflik tersendiri dalam arena pertarungan antara Melayu dengan Madura. Suku bangsa Melayu yang cenderung lebih suka mengalah dan “lemah lembut” lama-lama panas juga karena sikap dan budaya suku Madura yang cenderung keras dan menggunakan kekerasan sebagai sarana pemecahan masalah.Ketidakmampuan suku bangsa Madura untuk beradaptasi dengan lingkungannya menyebabkan mereka semakin eksklusif dan rela melakukan segala hal jika sesuatu yang buruk terjadi dengan kelompoknya. Berbeda dengan suku Melayu yang cenderung berusaha menghindari konflik, suku Madura melanggengkan adat “carok”nya jika terjadi permasalahan. Bahkan dendam semakin memuncak tatkala Madura menyebut suku Melayu dengan sebutan “Melayu Kerupuk” atas rasa takutnya jika menghadapi masalah.
Konflik juga terjadi pada dimensi sosial masyarakat. Pertentangan antar kedua kelompok ini sudah berlangsung sejak lama, sebagai akibat dari adanya pihak yang tersakiti dalam sejarah hubungan sosial. Marginalisasi penduduk pendatang terhadap penduduk asli membuat luka tersendiri bagi masyarakat Melayu dan mengakumulasi prasangka antar-etnik. Tidak berfungsinya aparat secara optimal malah membuat konflik semakin melebar. Secara umum, konflik yang terjadi di Kalimantan Barat juga disebabkan oleh tindak-tindak kekerasan yang dilakukan oleh beberapa oknum, namun digeneralisasikan sebagai hasil perbuatan kelompok etnis tertentu yang menyebabkan amarah bagi kelompok lain. Pola segregasi sosial danpembentukan stereotype juga menjadi point penting dalam konflik Sambas. Cara hidup kelompok etnis Madura yang menggerombol dan cenderung eksklusif membuat lemahnya kontak sosial etnis Madura dengan masyarakat sekitarnya (Suroyo, 2001). Sifat etnis Madura yang keras dan penggunaan cara-cara kotor dalam beraktivitas membuat tumbuhnya prasangka dan konflik antar etnis di Sambas.
Akumulasi rasa sakit hati dan dendam akhirnya muncul kepermukaan tatkala terjadi kasus pembunuhan yang melibatkan kedua etnis. Dengan massa yang begitu besar, Melayu berhasil menjatuhkan etnis Madura dengan cara-cara yang sadis pula. Madura berhasil terusir dari bumi Sambas. Kerusuhan besar pun tak terelakkan, dimana terdapat sedikitnya 177 orang tewas, 71 luka berat, 40 luka ringan, 12.185 rumah terbakar, 315 dirusak dan 21.626 warga Madura terusir dari tempat tinggalnya. Hingga pada akhirnya, terjadi kondisi umum pascakonflik, dimana orang Madura ditolak masuk Sambas kembali. Kelompok-kelompok yang mendukung penolakan kaum Madura mulai bermunculan. Salah satunya adalah FKPM (Forum Komunikasi Pemuda Melayu), dengan jaringan yang amat kuat di kalangan elite formal (birokrasi, DPRD) maupun elite informal (Kesultanan Sambas) dan dukungan luas masyarakat Sambas yang masih merasa sakit hati dan dendam dengan etnis Madura.
D. Proses De-eskalasi Konflik Sebagai Dinamika dalam Konflik Sambas
- Peranan Negara dalam Resolusi Konflik Sambas
Dalam upaya untuk mencegah keberadaan konflik yang semakin meluas, maka negara berusaha untuk melakukan tindakan peredaman dengan melibatkan berbagai aparat keamanan. Namun sayang, keberadaan aparat yang diterjunkan tidak bertindak secara netral, mereka masih memihak kepada etnis Melayu dan malah cenderung membiarkan kerusuhan itu terjadi. Polsek dan Koramil tidak mampu mengendalikan situasi dan membuat kerusuhan semakin meluas dan memakan banyak korban dan harta benda.
Jika ditinjau dalam jangka panjang, upaya de-eskalasi konflik yang dilakukan oleh negara kurang bisa menyurutkan amarah dan prasangka negatif antara pihak yang berkonflik. Pemerintah setempat malahan membuat hidden agenda yang mendukung penolakan terhadap kaum Madura. Tak lain dan tak bukan hal ini karena mayoritas pegawai pemerintahan di Sambas dijabat oleh kaum Melayu.Hal ini sama saja dengan melakukan tindak pembiaran terhadap konflik yang terjadi. Upaya intervensi kemanusiaan dan negosiasi politis yang dilakukan negara juga tidak berfungsi dengan optimal. Upaya relokasi para warga etnis Madura dan upaya inventarisasi tanah milik warga Madura juga tidak berlangsung dengan mulus. Kurangnya koordinasi sebagai penyebab utama kegagalan upaya resolusi konflik Sambas oleh negara. Akibatnya, tanah-tanah milik Madura dikuasai oleh Melayu atau menjadi milik negara dengan alasan sebagai hasil rampasan perang.
- Peranan Masyarakat dalam Proses De-eskalasi Konflik Sambas
Peranan masyarakat dalam tahapan resolusi konflik di Sambas malah cenderung terkesan lebih efektif jika dibandingkan dengan peran negara.Secara alamiah, keberadaan Madura kembali ke bumi Sambas sedikit demi sedikit mengalami proses penerimaan kembali secara alamiah. Sedikit demi sedikit orang Melayu Sambas mulai bebas beraktivitas di terminal Batulayang dan orang Madura mulai bisa mengunjungi sanak familinya di lokasi pengungsian. Terbukanya pintu Sambas bagi orang Madura terlihat pula melalui hadirnya orang Madura dalam acara-acara pernikahan, pertandingan olahraga maupun kesenian dan diadakannya forum yang diinisiasi oleh beberapa pemuda Madura yang berisi kritik internal terhadap budaya Madura yang bertujuan menurunkan perilaku dan budaya kekerasan orang Madura. Beberapa kasus menyebutkan adanya konsep “pilih antah” dalam masyarakat Sambas yang memiliki maksud bahwamasyarakat Sambas akan menerima kembali orang Madura yang memilikitrack record bagus.
Sudut Pandang Madura Sudut Pandang Melayu
E. Pihak Lain yang Berpengaruh dalam Konflik
- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Dalam konflik Sambas, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berperan dalam upaya mengadakan berbagai dialog antar berbagai pihak yang terlibat dalam konflik. LSM-LSM tersebut antara lain adalah YPPM (Yayasan Pemberdayaan People Nusantara), LBBT (Lembaga Bala Benoa Tahno), dan MAM (Majelis Adat Melayu). Salah satu LSM yaitu YKKS (Yayasan Korban Kerusuhan Sambas) berupaya keras dalam upaya pengembalian etnis Madura ke bumi Sambas, namun gagal dalam pelaksanaannya. Namun bermacam dialog yang digagas LSM-LSM tersebut hanya sebatas dialog, belum ada follow up yang mendorong resolusi konflik. Beberapa LSM malah dibentuk guna mobilisasi politis semata.
- Ikatan-ikatan Etnisitas Eksklusif
Keberadaan organisasi seperti Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) atau Ikamra (Ikatan Keluarga Madura) tidak berperan secara optimal dalam upaya rekonsiliasi pascakonflik. Organisasi-organisasi tersebut jelas lebih mengangkat identitas cultural masing-masing etnis, dan tidak mempertimbangkan akan keberadaan dan kepentingan etnis lainnya. Hal tersebut membuat sulitnya mempertemukan antar identitas yang berbeda, karena masing masing organisasi bergerak secara eksklusif.
- Organisasi Lintas Etnis
Keberadaan organisasi lintas etnis yang tercermin dari keberadaan Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat (FKMKB) itu tidak terlalu berperan dalam upaya resolusi konflik di Sambas. Lebih tragis lagi, kelompok-kelompok yang berdasarkan ikatan eksklusif kesukuan malah terlihat lebih hidup. Keberadaan organisasi ini nyaris sama sekali tidak efektif, terlihat dari keterlibatan anggota yang tidak sepenuh hati, mereka dari luar memang terlihat kompak, namun akan berbalik 90 derajat jika menemui masalah.
F. Konflik Etnis Melayu VS Madura di Sambas Jika Ditinjau Dari Segitiga PolaKonflik
Struktural
(Kondisi objektif: pendidikan, pekerjaan, kelas)
Perilaku Kultural
(agresif / tidak agressif)(terkait sikap, orientasi, persepsi)
Konflik yang terjadi antara kelompok masyarakat etnis Melayu dengan etnis Madura di Sambas termasuk dalam cultural violence, yang diakibatkan dari stereotype negatif terhadap entitas tertentu dalam masyarakat. Rasa saling tidak percaya ataupun prasangka buruk yang terpendam dalam tiap hati dan sanubari individu membuat konflik ini hidup dalam nuansa konflik laten. Konflik laten yang ada di masyarakat bisa saja timbul kembali ke permukaan dalam beberapa jangka waktu kedepan mengingat masih banyaknya penolakan terhadap etnis Madura dan rasa dendam serta sakit hati masyarakat Melayu terhadap etnis yang identik dengan kekerasan tersebut.
G. Solusi Konflik Sambas
Penyelesaian konflik Sambas dilakukan melalui cara non-Litigasi, dengan cara negosiasi seperti yang dilakukan oleh salah satu LSM yaitu YKKS (Yayasan Korban Kerusuhan Sambas) dan Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat yang berupaya keras dalam upaya pengembalian etnis Madura ke bumi Sambas, namun gagal dalam pelaksanaannya.
Jika dikaitkan dengan teori Kriesberg tentang tahapan dalam resolusi konflik, terlihat bahwa penyelesaian konflik dalam kasus ini sedang berada dalamtahapan intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik. Masyarakat secara otomatis memberlakukan konsep “pilih antah yang memiliki maksud bahwa masyarakat Sambas akan menerima kembali orang Madura yang memiliki track record bagus. Namun keberadaan FKPM (Forum Komunikasi Pemuda Melayu) merupakan batu penghalang kembalinya etnis Madura ke Sambas, FKPM menentang dengan keras akan konsep “pilih antah” diatas. Beberapa kelompok Melayu juga menentang dengan keras akan wacana kembalinya warga etnis Madura ke Sambas karena masih ada trauma di pribadi masyarakat, selain itu masyarakat juga sudah merasa damai akan hilangnya warga Madura di lingkungan mereka. Dalam tahapan intervensi kemanusiaan, negara dalam hal ini pemerintah Propinsi Kalimantan Barat berperan dalam proyek penampungan para pengungsi dari etnis Madura. Sedangkan dalam segi negosiasi politis, negara tidak banyak berperan, kalaupun ada, negosiasi hanya semacam difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa penyelesaian konflik ini ada pada tahapan polarisasi, dimana ada pihak ketiga yang ikut serta dalam upaya penyelesaian konflik.
Dalam konteks Kalbar, pemerintah menganggap konflik telah selesai ketika para pengungsi akibat konflik telah dipindah ke lokasi pemukiman baru. Mereka tidak melihat bahwa perasaan-perasaan curiga, stereotype, dan prasangka antara etnis masih berkembang ditingkat masyarakat Kalbar. Masih adanya penolakan oleh kelompok etnis tertentu kepada kelompok etnis yang lain di Kalbar untuk kembali ke asalnya hingga kini masih terjadi. Permasalahan-permasalahan kejelasan hak para pengungsi dan korban konflik etnis, terutama bagi etnis yang kalah, hingga kini masih buram. Pemerintah daerah tidak mau secara terbuka membicarakan kasus-kasus tersebut secara terbuka. Dilain sisi muncul dugaan bahwa pemerintah daerah mencoba untuk membatasi ruang dialog antar etnis pada isu-isu tertentu karena alasan sensitivitas isu yang ditakutkan akan menganggu stabilitas keamanan.
Salah satu kunci membina perdamaian yang berkesinambungan adalah bagaimana membangun kepercayaan yang ada ditingkat grassroot. Dengan membangun kepercayaan yang ada ditingkat grassroot, permasalahan-permasalahan sepele akan dapat segera diselesaikan ditingkat lokal tanpa melibatkan pihak yang diatasnya, masyarakat dapat segera mandiri dapat menyelesaikan konfliknya dengan cara-cara yang tentu saja menjadi kesepakatan umum dan hukum. Kemandirian warga dalam menyelesaikan konfliknya tak lepas dari seberapa berdayanya kekuatan institusi-institusi lokal yang ada di masyarakat lokal dan hukum dapat berfungsi dengan baik.
Harus ada ukuran-ukuran yang jelas dan kompeten untuk menunjukkan perdamaian di Kalbar. Sampai dalam tahapan mana perubahan-perubahan telah terjadi. Seperti apa yang disarankan oleh John Paul Lederach (2003) dalam konsepnya tentang Transformasi Konflik (Conflict Transformation) dimana setiap proses untuk mencapai perdamaian yang berkesinambungan sebaiknya dapat menyentuh 4 dimensi perubahan yang signifikan, yaitu dimensi perubahan yang ada tingkat personal, relasional, structural, dan yang paling ideasional adalah tingkatan cultural, atau perubahan yang ada ditingkat pengetahuan budaya yang menjadi acuan bagi kelompok dalam bertindak.
Kesimpulan:
Jika dilihat dari kacamata manajemen konflik, sesungguhnya konflik yang terjadi antara etnis Melayu dengan Madura di Sambas, Kalimantan Barat ini merupakan konflik antar kelompok masyarakat atau konflik horizontal. Konflik ini berasal dari akumulasi dari stereotype dan rasa sakit hati etnis Melayu kepada etnis Madura. Sedangkan pembunuhan warga Melayu oleh warga Madura, dan beberapa kasus sepele semakin memicu datangnya konflik ini. Dari meluasnya kerusuhan-kerusuhan yang terjadi, banyaknya korban tewas dan kerusakan-kerusakan dapat disimpulkan Negara tidak mampu mencegah meluasnya konflik. Pada tahap de-eskalasi, Negara gagal dalam memainkan peranan jangka pendek yakni terhadap upaya mencegah eskalasi yang bersifat masif dan destruktif, disamping tidak mampu secara cepat menghentikan berlanjutnya kekerasan.
Kasus ini sedang berada dalam tahapan intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik. Masyarakat secara otomatis memberlakukan konsep “pilih antah” yang memiliki maksud bahwa masyarakat Sambas akan menerima kembali orang Madura yang memiliki track record bagus, namun disisi lain masih banyak pula masyarakat yang menentang kembalinya warga etnis Madura karena alasan traumatic tersendiri. Konflik yang terjadi antara kelompok masyarakat etnis Melayu dengan etnis Madura di Sambas termasuk dalam cultural violence, yang diakibatkan dari stereotype negatif terhadap entitas tertentu. Rasa saling tidak percaya ataupun prasangka buruk yang terpendam dalam tiap hati dan sanubari individu membuat konflik ini hidup dalam nuansa konflik laten. Seharusnya pemerintah mengupayakan kembalinya warga Madura terkait atas hak-hak komunalnya yang masih ada di Sambas seperti hak kepemilikan tanah, serta hak untuk menghormati adat leluhurnya dengan mengunjungi makam dan hak untuk mengurus ladang serta persawahan mereka. Pemerintah seharusnya juga melihat bahwa perasaan-perasaan curiga, stereotype, dan prasangka antara etnis masih berkembang ditingkat masyarakat Kalbar yang bisa menimbulkan letusan konflik lagi di kemudian hari yang perlu untuk segera ditanggulangi. Salah satu kunci membina perdamaian yang berkesinambungan adalah bagaimana membangun kepercayaan yang ada ditingkat grassroot, karena kemandirian warga dalam menyelesaikan konfliknya tak lepas dari seberapa berdayanya kekuatan institusi-institusi lokal yang ada di masyarakat lokal dan hukum dapat berfungsi dengan baik.

0 komentar:

Posting Komentar

mohon kritik dan saran
tapi jangan kejam kejam amat yak.huhu