KONFLIK SAMBAS
Tulisan ini mencoba menganalisis sebuah
konflik yang terjadi antar kelompok masyarakat yang hidup di Kabupaten Sambas,
Provinsi Kalimantan Barat, yaitu konflik antara suku asli Kalimantan (etnis
Melayu) dengan etnis pendatang yaitu etnis Madura, yang pada bulan Februari
tahun 1999 sempat meletus dan menewaskan sedikitnya 200 orang dan membuat
30.000-an warga mengungsi. Etnis Madura yang dikenal sebagai kelompok yang eksklusif yang
berusaha melanggengkan tradisi daerah asalnya yang keras dan kejam membuatnya
sulit beradaptasi dengan lingkungannya dan membuat suku ini dicap buruk oleh
sekitarnya. Konflik ini terjadi sebagai akumulasi dari stereotype dan rasa
sakit hati etnis Melayu yang sudah terpendam sejak lama dan akhirnya meletus
setelah dipicu oleh pembunuhan salah satu warga Melayu oleh salah satu warga
Madura. Konflik semakin meluas tatkala peran negara dalam upaya resolusi
konflik jangka pendek maupun jangka panjang mengalami kegagalan.
A. Penyebab dan Pemicu Konflik Antar Etnis di
Sambas, Kalimantan Barat.
- Stereotype dan Rasa Sakit Hati
Antar Etnis sebagai Penyebab Utama Konflik
Konflik
antar etnik sudah tidak bisa dilepaskan dalam realitas sosial masyarakat di
Kalimantan Barat. Di provinsi yang juga dikenal sebagai “bumi khatulistiwa”
ini, masyarakat dari berbagai suku, agama dan etnis hidup bersama. Di dalam
bingkai etnisitas sendiri, Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Sambas
memiliki keanekaragaman etnis yang cukup berwarna, ada etnis Dayak dan Melayu
sebagai “penduduk asli” pulau Kalimantan, namun tak sedikit pula etnis lain
yang menjadi “kaum pendatang” di bumi Sambas, antara lain etnis Jawa, Sunda,
Tionghoa, Bugis dan Madura. Namun pada dasarnya, hubungan antara berbagai etnis
yang hidup berdampingan di Sambas gagal dalam menghasilkan proses adaptasi
etnisitas yang sehat. Berkurangnya daya dukung terhadap akses lingkungan dan
upaya marginalisasi penduduk asli setempat malah memunculkan prasangka
antar-etnik, khususnya ditujukan kepada etnik Madura.
Perlu
diketahui bahwa Suku Melayu adalah suku yang memiliki status sosial yang lebih
tinggi dibandingkan dengan suku bangsa lainnya di Kalimantan Barat,(terutama pada saat
kerajaan-kerajaan besar masih berpengaruh).
Lain halnyadengan
etnik Madura sebagai suku pendatang. Mereka malahan berusaha melanggengkan budaya aslinya dengan hidup berkelompok dan memiliki
konsep tempat tinggal yang disebut tanean lajang. Mereka juga tidak melepaskankebiasaan seperti membawa clurit, serta aktivitas yang
sangat mementingkan harga diri dan martabat suku mereka yang lebih dikenal
dengan sebutan carok.Mereka juga masih membawa pola pikir keras kepala, mau menang sendiri, sombong, menyelesaikan
setiap permasalahan dengan kekerasan, sangat bangga pada tradisi dan budaya
sendiri, lebih senang hidup berkelompok dan membentuk komunitas ketetanggan
berdasar kesukuan dan orang-orangnya cenderung suka memaksakan kehendak
(Sihbudi, 2001). Karena sikap eksklusif yang mereka pegang dalam bertetangga,
etnik Madura gagal beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Sikap-sikap
yang dibawa oleh etnis Madura tersebut diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakatnya sehari-hari tanpa melihat akan keberadaan entitas lain dalam
lingkungan tersebut. Hal itu berakibat pada munculnya rasa teror dalam
masyarakat jikalau ada komunitas Madura disekitar mereka, terlebih bagi etnis
Melayu yang sejatinya merupakan etnis yang “berkuasa” dan mengakar di Sambas.
Kebencian dan dendam mulai muncul tatkala etnis Madura mulai “sok berkuasa” dan
berusaha menduduki akses-akses vital dengan bertindak selayaknya preman di
Sambas, seperti di Terminal Batulayang, tanah perkebunan dan ladang. Orang Madura
dalam berinteraksi dengan warga masyarakat lainnya cenderung menggunakan
norma-norma yang berlaku bagi kelompoknya sendiri tanpa mengindahkan
norma—norma yang telah menjadi tatanan sosial masyarakat Sambas pada umumnya
(Jatiman, 1999). Rasa saling tidak percaya dan menganggap eksistensi suatu suku
yang hidup di lingkungannya menjadi penghalang bagi eksistensi suku yang lain
menjadikan konflik ini tumbuh dalam hati sanubari setiap individu di
masyarakat. Penguasaan akses dan sebutanMelayu pengecut membuat
dendam tersendiri bagi masyarakat Melayu, eksistensi dan kehormatannya sebagai
suku mayoritas seakan direnggut oleh Madura.
- Pembunuhan Warga Melayu oleh Warga Madura
Sebagai Pemicu Konflik
Kerusuhan
Sambas pada mulanya dipicu oleh ulah premanisme seorang pemuda Madura bernama
Hasan yang berasal dari Desa Sari Makmur. Ia tertangkap basah melakukan
pencurian di Desa Parit Setia yang notabene adalah desa dengan mayoritas dihuni
oleh etnis Melayu pada tanggal 17 Januari 1999. Hasan pun dikeroyok oleh warga hingga
kemudian diamankan di Polsek Jawai, Sambas. Beberapa orang dari etnis
Madura-pun meminta agar Hasan dibebaskan. Kepulangan Hasan ternyata tidak
begitu saja diterima oleh keluarga setelah melihat luka-luka bekas keroyokan
warga. Hingga pada tanggal 19 Januari 1999, sekitar 200 warga Madura dari Sari
Makmur menyerang desa Melayu di Parit Setia yang mengakibatkan tiga warga
Melayu meninggal dunia (Sihbudi, 2001).
Amarah
warga Melayu semakin meluas tatkala terjadi peristiwa penusukan kernet angkot
Melayu oleh penumpang Madura. Hingga pada akhirnya kerusuhan semakin meluas,
hingga mencakup beberapa kecamatan di kabupaten Sambas, seperti Kecamatan Liku,
Sekura, Sejangkung, Sambas, Setebang, hingga Singkawang. Amuk massa pun tak
terhindarkan dan semakin meluas hingga Maret 2000. Menurut data dan laporan
khusus Kepolisian Resor Sambas, kerusuhan tersebut mengakibatkan 177 orang
tewas, 71 luka berat, 40 luka ringan, 12.185 rumah terbakar, 315 dirusak, dan
21.626 warga Madura terusir dari tempat tinggalnya (Cahyono, 2008).
B. Aktor Utama dalam Konflik Sambas
Setidaknya
ada dua aktor utama yang terlibat dalam konflik antar kelompok dalam masyarakat
tersebut, yaitu masyarakat etnis Melayu, dan masyarakat etnis Madura. Adapun
dasar serta keterlibatannya dalam konflik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat Etnis Melayu
Masyarakat etnis Melayu adalah
masyarakat asli yang mendiami wilayah Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten
Sambas. Keberadannya yang merupakan suku asli Kalimantan membuat suku ini
disegani dan memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan suku
lain di Sambas. Di Kalimantan Barat sendiri prosentase jumlah suku bangsa
Melayu sebesar 13%. Pada
dasarnya, masyarakat etnis Melayu memiliki sifat lembut dan mudah mengalah,
namun ketika berhadapan dengan suku Madura yang memiliki tempramen yang begitu
keras serta dendam tersendiri yang terakumulasi secara maksimal, maka
lama–kelamaan bisa memunculkan sentiment tersendiri yang bertolakbelakang
dengan sifat asli masyarakat etnis Melayu.
Berawal dari perbedaan karakter dan
penguasaan lahan pertanian serta sarana-sarana vital oleh warga etnis Madura
yang merupakan kaum pendatang, akumulasi rasa kebencian dan stereotip negatif
mulai bermunculan. Lahan-lahan pertanian dan perkebunan direbut secara “paksa”
dan dengan cara-cara aneh oleh kaum Madura yang terkenal ulet dan gigih.
Agresivitas kaum Madura dalam persaingan ekonomi yang sering menggunakan
cara-cara yang tidak jujur, menggunakan tekanan, bahkan kekerasan semakin
menambah kebencian Melayu kepada Madura. Hinaan seperti “Melayu Kerupuk” sering dilontarkan oleh orang
Madura terhadap Melayu terkait jati dirinya yang cenderung tertutup dan
penakut. Hal itu semakin meningkatkan kebencian suku Melayu terhadap Madura
yang berlanjut tatkala terjadi konflik massif di tahun 1999-2000 tersebut.
2. Masyarakat Etnis Madura
Masyarakat
etnis Madura adalah kaum pendatang yang mulai bermigrasi ke Kalimantan pada
abad ke-13 sampai menjelang abad ke-20. Di Kalimantan Barat sendiri, mereka
mencoba melanggengkan adat istiadat dan kebiasaan yang ada di tanah leluhurnya
di Madura sana, seperti hidup secara berkelompok dan memiliki konsep hidup yang
disebut sebagai tanean
lajang, dimana
keluarga satu keturunan ditinggali oleh satu kerabat yang masih terikat hubungan
kekeluargaan yang sama (Sihbudi,
2001). Sikap eksklusif yang dimiliki oleh suku Madura ini menyebabkan mereka
tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kebiasaan mereka yang hobi
membawa clurit juga masih dilestarikan guna menunjukkan akan suatu kejantanan.
Budaya kekerasan berupa carok juga masih ia bawa yang mewajibkan
secara moral bagi orang Madura untuk membalas dendam atas tindakan yang
mengancam harga dirinya atau yang menyakiti hati kerabat mereka (Alqadrie,
2002). Sifat keras juga dimiliki warga suku Madura, hal ini dikarenakan kondisi
geologis dimana mereka berasal, yang cenderung didominasi oleh batuan kapur dan
endapan gamping yang otomatis membuat orang Madura menjadi sosok yang ulet,
rajin bekerja, tidak pantang menyerah dan tingkat survivalnya tinggi. Sifat
kaum Madura yang ingin menguasai segalanya menjadikannya sebagai suatu alasan
kuat mengapa konflik dengan etnis Melayu ini terjadi. Kaum Madura mulai
berusaha menguasai sawah, ladang dan perkebunan milik etnis Melayu dengan
cara-cara licik dan aneh. Mereka juga kadang menyindir etnis Melayu yang
cenderung berpembawaan tenang dengan sebutan ”Melayu Kerupuk” yang dinilai
etnis Melayu sebagai suatu penghinaan terhadap komunitas mereka.
C. Konflik Etnis Melayu dengan Etnis Madura
dalam Konteks Sosial Budaya
Banyak
aspek yang memicu konflik antar kelompok masyarakat di Sambas ini terjadi. Kemarahan dan akumulasi dendam sebagai akibat dari kecemburuan
sosial, sikap
eksklusivitas kaum Madura, serta perasaan kaum Melayu yang merasa
termarginalisasi dan merasa tidak ditempatkan sebagai komunitas masyarakat yang
memiliki hak sepenuhnya atas tanah dan lingkungan dimana mereka hidup membuat konflik yang sebelumnya berada
di tahapan laten menjadi konflik yang muncul dan mencuat ke permukaan secara
massif.
Benturan
kebudayaan,
dimana masing–masing kelompok berusaha mempertahankan apa yang menjadi
kebudayaan dan identitas kelompoknya menjadi konflik tersendiri dalam arena
pertarungan antara Melayu dengan Madura. Suku bangsa Melayu yang cenderung
lebih suka mengalah dan “lemah lembut” lama-lama panas juga karena sikap dan
budaya suku Madura yang cenderung keras dan menggunakan kekerasan sebagai
sarana pemecahan masalah.Ketidakmampuan suku bangsa Madura untuk beradaptasi dengan lingkungannya menyebabkan mereka semakin
eksklusif dan rela melakukan segala hal jika sesuatu yang buruk terjadi dengan
kelompoknya. Berbeda dengan suku Melayu yang cenderung berusaha menghindari
konflik, suku Madura melanggengkan adat “carok”nya jika terjadi permasalahan. Bahkan dendam
semakin memuncak tatkala Madura menyebut suku Melayu dengan sebutan “Melayu
Kerupuk” atas rasa takutnya jika menghadapi masalah.
Konflik
juga terjadi pada dimensi sosial masyarakat. Pertentangan antar kedua kelompok
ini sudah berlangsung sejak lama, sebagai akibat dari
adanya pihak yang tersakiti dalam sejarah hubungan sosial. Marginalisasi
penduduk pendatang terhadap penduduk asli membuat luka tersendiri bagi
masyarakat Melayu dan mengakumulasi prasangka antar-etnik. Tidak berfungsinya aparat secara optimal malah membuat konflik semakin melebar.
Secara umum, konflik yang terjadi di Kalimantan Barat juga disebabkan oleh
tindak-tindak kekerasan yang dilakukan oleh beberapa oknum, namun
digeneralisasikan sebagai hasil perbuatan kelompok etnis tertentu yang
menyebabkan amarah bagi kelompok lain. Pola
segregasi sosial danpembentukan
stereotype juga
menjadi point penting dalam konflik Sambas. Cara hidup kelompok etnis Madura
yang menggerombol dan cenderung eksklusif membuat lemahnya kontak sosial etnis
Madura dengan masyarakat sekitarnya (Suroyo, 2001). Sifat etnis Madura yang
keras dan penggunaan cara-cara kotor dalam beraktivitas membuat tumbuhnya
prasangka dan konflik antar etnis di Sambas.
Akumulasi
rasa sakit hati dan dendam akhirnya muncul kepermukaan tatkala terjadi kasus
pembunuhan yang melibatkan kedua etnis. Dengan massa yang begitu besar, Melayu
berhasil menjatuhkan etnis Madura dengan cara-cara yang sadis pula. Madura
berhasil terusir dari bumi Sambas. Kerusuhan besar pun tak terelakkan, dimana
terdapat sedikitnya 177 orang tewas, 71 luka berat, 40 luka ringan, 12.185
rumah terbakar, 315 dirusak dan 21.626 warga Madura terusir dari tempat
tinggalnya. Hingga pada akhirnya, terjadi kondisi umum pascakonflik, dimana
orang Madura ditolak masuk Sambas kembali. Kelompok-kelompok yang mendukung
penolakan kaum Madura mulai bermunculan. Salah satunya adalah FKPM (Forum
Komunikasi Pemuda Melayu), dengan jaringan yang amat kuat di kalangan elite
formal (birokrasi, DPRD) maupun elite informal (Kesultanan Sambas) dan dukungan
luas masyarakat Sambas yang masih merasa sakit hati dan dendam dengan etnis
Madura.
D. Proses De-eskalasi Konflik Sebagai Dinamika
dalam Konflik Sambas
- Peranan Negara dalam Resolusi Konflik Sambas
Dalam upaya untuk mencegah keberadaan konflik yang
semakin meluas, maka negara berusaha untuk melakukan tindakan peredaman dengan
melibatkan berbagai aparat keamanan. Namun sayang, keberadaan aparat yang diterjunkan
tidak bertindak secara netral, mereka masih memihak kepada etnis Melayu dan
malah cenderung membiarkan kerusuhan itu terjadi. Polsek dan Koramil tidak
mampu mengendalikan situasi dan membuat kerusuhan semakin meluas dan memakan
banyak korban dan harta benda.
Jika ditinjau dalam jangka panjang, upaya de-eskalasi
konflik yang dilakukan oleh negara kurang bisa menyurutkan amarah dan prasangka
negatif antara pihak yang berkonflik. Pemerintah
setempat malahan membuat hidden agenda yang mendukung penolakan terhadap kaum
Madura. Tak
lain dan tak bukan hal ini karena mayoritas pegawai pemerintahan di Sambas
dijabat oleh kaum Melayu.Hal ini sama saja dengan
melakukan tindak pembiaran terhadap konflik yang terjadi. Upaya intervensi
kemanusiaan dan negosiasi politis yang dilakukan negara juga tidak berfungsi
dengan optimal. Upaya relokasi para warga etnis Madura dan upaya inventarisasi
tanah milik warga Madura juga tidak berlangsung dengan mulus. Kurangnya
koordinasi sebagai penyebab utama kegagalan upaya resolusi konflik Sambas oleh
negara. Akibatnya, tanah-tanah milik Madura dikuasai oleh Melayu atau menjadi
milik negara dengan alasan sebagai hasil rampasan perang.
- Peranan Masyarakat dalam Proses De-eskalasi Konflik
Sambas
Peranan masyarakat dalam tahapan resolusi konflik di
Sambas malah cenderung terkesan lebih efektif jika dibandingkan dengan peran
negara.Secara alamiah, keberadaan Madura
kembali ke bumi Sambas sedikit demi sedikit mengalami proses penerimaan kembali
secara alamiah. Sedikit demi sedikit orang Melayu Sambas mulai bebas
beraktivitas di terminal Batulayang dan orang Madura mulai bisa mengunjungi
sanak familinya di lokasi pengungsian. Terbukanya pintu Sambas bagi orang
Madura terlihat pula melalui hadirnya orang Madura dalam acara-acara pernikahan,
pertandingan olahraga maupun kesenian dan diadakannya forum yang diinisiasi
oleh beberapa pemuda Madura yang berisi kritik internal terhadap budaya Madura
yang bertujuan menurunkan perilaku dan budaya kekerasan orang Madura. Beberapa
kasus menyebutkan adanya konsep “pilih
antah” dalam
masyarakat Sambas yang memiliki maksud bahwamasyarakat Sambas akan menerima
kembali orang Madura yang memilikitrack record bagus.
Sudut
Pandang Madura Sudut Pandang Melayu
E. Pihak Lain yang Berpengaruh dalam Konflik
- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Dalam konflik Sambas, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
berperan dalam upaya mengadakan berbagai dialog antar berbagai pihak yang
terlibat dalam konflik. LSM-LSM tersebut antara lain adalah YPPM (Yayasan
Pemberdayaan People Nusantara), LBBT (Lembaga Bala Benoa Tahno), dan MAM
(Majelis Adat Melayu). Salah satu LSM yaitu YKKS (Yayasan Korban Kerusuhan
Sambas) berupaya keras dalam upaya pengembalian etnis Madura ke bumi Sambas,
namun gagal dalam pelaksanaannya. Namun bermacam dialog yang digagas LSM-LSM
tersebut hanya sebatas dialog, belum ada follow up yang mendorong resolusi
konflik. Beberapa LSM malah dibentuk guna mobilisasi politis semata.
- Ikatan-ikatan Etnisitas Eksklusif
Keberadaan organisasi seperti Majelis Adat
Budaya Melayu (MABM) atau Ikamra (Ikatan Keluarga Madura) tidak berperan secara
optimal dalam upaya rekonsiliasi pascakonflik. Organisasi-organisasi tersebut
jelas lebih mengangkat identitas cultural masing-masing etnis, dan tidak
mempertimbangkan akan keberadaan dan kepentingan etnis lainnya. Hal tersebut
membuat sulitnya mempertemukan antar identitas yang berbeda, karena masing
masing organisasi bergerak secara eksklusif.
- Organisasi Lintas Etnis
Keberadaan organisasi lintas etnis yang
tercermin dari keberadaan Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat (FKMKB)
itu tidak terlalu berperan dalam upaya resolusi konflik di Sambas. Lebih tragis
lagi, kelompok-kelompok yang berdasarkan ikatan eksklusif kesukuan malah
terlihat lebih hidup. Keberadaan organisasi ini nyaris sama sekali tidak
efektif, terlihat dari keterlibatan anggota yang tidak sepenuh hati, mereka
dari luar memang terlihat kompak, namun akan berbalik 90 derajat jika menemui
masalah.
F. Konflik Etnis Melayu VS Madura di Sambas Jika
Ditinjau Dari Segitiga PolaKonflik
Struktural
(Kondisi objektif: pendidikan, pekerjaan,
kelas)
(agresif
/ tidak agressif)(terkait sikap, orientasi, persepsi)
Konflik
yang terjadi antara kelompok masyarakat etnis Melayu dengan etnis Madura di
Sambas termasuk dalam cultural
violence, yang
diakibatkan dari stereotype negatif terhadap entitas tertentu dalam masyarakat.
Rasa saling tidak percaya ataupun prasangka buruk yang terpendam dalam tiap hati
dan sanubari individu membuat konflik ini hidup dalam nuansa konflik laten.
Konflik laten yang ada di masyarakat bisa saja timbul kembali ke permukaan
dalam beberapa jangka waktu kedepan mengingat masih banyaknya penolakan
terhadap etnis Madura dan rasa dendam serta sakit hati masyarakat Melayu
terhadap etnis yang identik dengan kekerasan tersebut.
G. Solusi Konflik Sambas
Penyelesaian konflik Sambas
dilakukan melalui cara non-Litigasi,
dengan cara negosiasi seperti yang dilakukan oleh salah satu LSM yaitu YKKS (Yayasan Korban Kerusuhan
Sambas) dan Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat yang berupaya keras dalam upaya pengembalian etnis Madura ke
bumi Sambas, namun gagal dalam pelaksanaannya.
Jika dikaitkan dengan teori Kriesberg tentang
tahapan dalam resolusi konflik, terlihat bahwa penyelesaian konflik dalam kasus ini
sedang berada dalamtahapan intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik.
Masyarakat secara otomatis memberlakukan konsep “pilih antah” yang memiliki maksud bahwa masyarakat
Sambas akan menerima kembali orang Madura yang memiliki track record bagus.
Namun keberadaan FKPM (Forum Komunikasi Pemuda Melayu) merupakan batu
penghalang kembalinya etnis Madura ke Sambas, FKPM menentang dengan keras akan
konsep “pilih
antah” diatas. Beberapa kelompok Melayu juga menentang dengan keras
akan wacana kembalinya warga etnis Madura ke Sambas karena masih ada trauma di
pribadi masyarakat, selain itu masyarakat juga sudah merasa damai akan
hilangnya warga Madura di lingkungan mereka. Dalam tahapan intervensi
kemanusiaan, negara dalam hal ini pemerintah Propinsi Kalimantan Barat berperan
dalam proyek penampungan para pengungsi dari etnis Madura. Sedangkan dalam segi
negosiasi politis, negara tidak banyak berperan, kalaupun ada, negosiasi hanya
semacam difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Kepolisian
Daerah Kalimantan Barat. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa penyelesaian konflik ini ada
pada tahapan polarisasi,
dimana ada pihak ketiga yang ikut serta dalam upaya penyelesaian konflik.
Dalam
konteks Kalbar, pemerintah menganggap konflik telah selesai ketika para
pengungsi akibat konflik telah dipindah ke lokasi pemukiman baru. Mereka
tidak melihat bahwa perasaan-perasaan curiga, stereotype, dan prasangka antara
etnis masih berkembang ditingkat masyarakat Kalbar. Masih adanya penolakan oleh
kelompok etnis tertentu kepada kelompok etnis yang lain di Kalbar untuk kembali
ke asalnya hingga kini masih terjadi. Permasalahan-permasalahan kejelasan hak
para pengungsi dan korban konflik etnis, terutama bagi etnis yang kalah, hingga
kini masih buram. Pemerintah daerah tidak mau secara terbuka membicarakan
kasus-kasus tersebut secara terbuka. Dilain sisi muncul dugaan bahwa pemerintah
daerah mencoba untuk membatasi ruang dialog antar etnis pada isu-isu tertentu
karena alasan sensitivitas isu yang ditakutkan akan menganggu stabilitas
keamanan.
Salah
satu kunci membina perdamaian yang berkesinambungan adalah bagaimana membangun
kepercayaan yang ada ditingkat grassroot. Dengan membangun kepercayaan yang ada
ditingkat grassroot,
permasalahan-permasalahan sepele akan dapat segera diselesaikan ditingkat lokal
tanpa melibatkan pihak yang diatasnya, masyarakat dapat segera mandiri dapat
menyelesaikan konfliknya dengan cara-cara yang tentu saja menjadi kesepakatan
umum dan hukum. Kemandirian warga dalam menyelesaikan konfliknya tak lepas dari
seberapa berdayanya kekuatan institusi-institusi lokal
yang ada di masyarakat lokal dan hukum
dapat berfungsi dengan baik.
Harus
ada ukuran-ukuran yang jelas dan kompeten untuk menunjukkan perdamaian di
Kalbar. Sampai dalam tahapan mana perubahan-perubahan telah terjadi. Seperti
apa yang disarankan oleh John Paul Lederach (2003)
dalam konsepnya tentang Transformasi Konflik (Conflict Transformation) dimana setiap proses untuk mencapai
perdamaian yang berkesinambungan sebaiknya dapat menyentuh 4 dimensi perubahan
yang signifikan, yaitu dimensi perubahan yang ada tingkat personal, relasional,
structural, dan yang paling ideasional adalah tingkatan cultural, atau
perubahan yang ada ditingkat pengetahuan budaya yang menjadi acuan bagi
kelompok dalam bertindak.
Kesimpulan:
Jika dilihat dari kacamata
manajemen konflik, sesungguhnya konflik yang terjadi antara etnis Melayu dengan
Madura di Sambas, Kalimantan Barat ini merupakan konflik antar kelompok
masyarakat atau konflik horizontal. Konflik ini berasal dari akumulasi dari
stereotype dan rasa sakit hati etnis Melayu kepada etnis Madura. Sedangkan
pembunuhan warga Melayu oleh warga Madura, dan beberapa kasus sepele semakin memicu datangnya konflik ini. Dari meluasnya kerusuhan-kerusuhan yang terjadi,
banyaknya korban tewas dan kerusakan-kerusakan dapat disimpulkan Negara tidak
mampu mencegah meluasnya konflik. Pada tahap de-eskalasi, Negara gagal dalam
memainkan peranan jangka pendek yakni terhadap upaya mencegah eskalasi yang
bersifat masif dan destruktif, disamping tidak mampu secara cepat menghentikan
berlanjutnya kekerasan.
Kasus ini sedang berada dalam tahapan intervensi kemanusiaan
dan negosiasi politik. Masyarakat secara otomatis memberlakukan konsep “pilih antah”
yang memiliki maksud bahwa masyarakat Sambas akan menerima kembali orang Madura
yang memiliki track record bagus, namun disisi lain masih
banyak pula masyarakat yang menentang kembalinya warga etnis Madura karena
alasan traumatic tersendiri. Konflik yang terjadi antara kelompok masyarakat
etnis Melayu dengan etnis Madura di Sambas termasuk dalam cultural violence, yang
diakibatkan dari stereotype negatif terhadap entitas tertentu. Rasa saling
tidak percaya ataupun prasangka buruk yang terpendam dalam tiap hati dan
sanubari individu membuat konflik ini hidup dalam nuansa konflik laten.
Seharusnya pemerintah mengupayakan kembalinya warga Madura terkait atas hak-hak
komunalnya yang masih ada di Sambas seperti hak kepemilikan tanah, serta hak
untuk menghormati adat leluhurnya dengan mengunjungi makam dan hak untuk
mengurus ladang serta persawahan mereka. Pemerintah seharusnya juga melihat bahwa perasaan-perasaan curiga,
stereotype, dan prasangka antara etnis masih berkembang ditingkat masyarakat
Kalbar yang bisa menimbulkan letusan konflik lagi di kemudian hari yang perlu
untuk segera ditanggulangi. Salah satu kunci membina perdamaian yang
berkesinambungan adalah bagaimana membangun kepercayaan yang ada ditingkat grassroot, karena kemandirian warga dalam
menyelesaikan konfliknya tak lepas dari seberapa berdayanya kekuatan
institusi-institusi lokal yang ada di masyarakat lokal dan hukum dapat
berfungsi dengan baik.
0 komentar:
Posting Komentar
mohon kritik dan saran
tapi jangan kejam kejam amat yak.huhu